
MEMAAFKAN HABIS RAMADHAN, TRADISI ATAU SUNNAH?
Fenomena yang kerap terjadi pasca Ramadhan adalah meningkatnya aktivitas maaf-memaafkan. Mulai dari malam takbiran, banyak orang menyusun kata-kata yang paling indah dan pilihan untuk disebar di berbagai grup whatsapp juga dibagikan secara personal ke banyak orang.
Bahkan, tak jarang mereka sampai googling “kata-kata mutiara maaf-maafan lebaran” untuk mendapatkan yang paling aduhai dan paling mewakili perasaan mereka.
Di era pandemi corona sekarang ini, yang memaksa tiap manusia untuk serba online. Tentu, fenomena maaf-memaafkan lewat daring akan demikian masif. Mereka akan habis-habisan mencari penemuan-penemuan baru, baik dalam kata maupun cara, untuk membuat aktivitas maaf-memaafkan ini menjadi sesuatu yang lebih berarti.
Sebenarnya, bukan cuma di akhir Ramadhan atau saat memasuki bulan Syawal, aktivitas ini menjadi masif. Bahkan, menjelang Ramadhan pun, tak sedikit yang mulai memohon maaf. Entahlah, sesalah apa dirinya hingga demikian merasa bersalahnya.
Tentu saja, dalam kacamata fikih, selalu akan muncul pertanyaan, apakah memaafkan pra atau pasca bulan suci Ramadhan merupakan bagian dari Sunnah Rasul?
Jawabannya pasti “bukan” bagian dari sunnah. Mengapa? Ya, karena Rasul saw tidak pernah mencontohkannya.
Dari berbagai hadits terkait dengan Ramadhan. Salah satu ganjaran yang didapat orang yang berpuasa adalah “maghfirah” Allah Ta’ala. Yakni, ampunan Allah Ta’ala.
Seolah-olah puasa adalah ajang bagi setiap mukmin untuk berlomba-lomba meminta ampunan Allah Ta’ala. Proses ini bukan cuma dengan perantaraan istighfar. Tapi proses ini dilakukan dengan beragam aktivitas ibadah, yang salah satunya adalah puasa.
Sehingga, puasa menjadi sarana untuk menafakuri kelemahan-kelemahan kita di hadapan Sang Khalik. Menumbuhkan perasaan bersalah. Memohon agar dijauhkan dari kelemahan-kelemahan tersebut. Dan meminta taufik agar tidak kembali kepada keburukan masa lalu.
Itulah yang disebut sebagai kemenangan. Entah, itu kemenangan yang hakiki atau tidak, hanya kita yang tahu.
Tapi, berakhirnya Ramadhan harus diawali dengan sebuah perayaan. Ya, perayaan atas kemenangan kita.
Kemenangan untuk tidak kalah dengan hawa nafsu jasmaniah kita. Sehingga kita mampu melewati hari-hari dengan tidak makan dan minum.
Juga, kemenangan untuk tidak kalah dengan hawa nafsu batiniah kita. Sehingga kita mampu melewati ramadhan tahun ini dengan kebaikan demi kebaikan juga meninggalkan keburukan demi keburukan.
Jadi. Tidak relevan di hari raya Idul Fitri ini ada “tradisi” maaf-memaafkan.
Karena perintah maaf-memaafkan harus diamalkan saat kita salah, saat itu juga. Yang berbuat salah meminta maaf. Dan yang dikenai salah memaafkan.
Jangan dosa salah itu ditabung sampai suatu masa. Dan menjelang Ramadhan, atau ketika Ramadhan berakhir, tabungan dosa tersebut ditumpahkan.
Filosafi maaf-memaafkan dalam Islam merupakan perkara agung yang dapat memutus mata rantai dosa. Amalan ini sangat sederhana. Cuma, memang perlu kebesaran hati untuk meminta maaf jika salah, dan untuk memaafkan.
Caranya simpel, saat kita berbuat salah, yah langsung minta maaf. Bahkan dalam sebuah hadits dikatakan:
“Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam di mana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam”. (HR. Muslim)
Kita cuma dikasih waktu tiga hari untuk memendam kekesalan terhadap orang lain. Lewat dari itu sudah masuk dalam kategori dosa yang akan membuat hati kita keras.
Jadi, sangat bertentangan dengan hadits di atas ketika kita menyimpan kekesalan atau dendam kepada orang lain dalam kurun waktu yang lama. Lalu, menumpahkannya di hari raya Idul Fitri.
.
.
.
editor: Muhammad Nurdin
Hits: 24
Alhamdulillah dpt ilmu baru..
Mubarak..semoga penjlsan ini bs kt amal kan… Jzkumulah..