
Mutiara Kenangan dengan Sang Bapak Ahmadi Indonesia
Kecintaannya pada seluruh Ahmadi—khususnya Ahmadi Indonesia—sebagai anak-anak rohaninya, pasti merupakan suatu kecintaan yang tulus. Buktinya, ketika kabar sakitnya terdengar, semua ikut cemas dan merasa dihantui detik-detik yang menegangkan. Ketika kabar yang ditakutkan itu datang, semua merasa kehilangan. Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata untuk menggambarkan rasa duka kehilangan ini.
Seribu pelayat mengiringi kepergiannya langsung di tempat pemakaman. Dan ribuan Ahmadi di penjuru Indonesia tak ketinggalan menyaksikan via zoom dengan penuh derai air mata sepanjang acara pemakaman mengiringi perginya sosok pribadi yang tegas, teduh, realistis, humoris, tenang, dan tidak arogan ini, menuju pencipta-Nya.
Hampir tak percaya, tepatnya tak mau percaya dengan kenyataan ini. Namun, apa daya takdir seorang insan tak dapat dielakkan. Tubuh langsung gemetar, lemas, lidah kelu, hati hampa, sunyi senyap mendera buana ketika tiba kabar yang paling menyedihkan ini.
Mungkin seperti ini barangkali hati para muslimin ketika ditinggalkan Rasulullah SAW. Tak mau melepas tapi harus melepas, mau tak mau. Bagaimanapun juga beliau harus berjumpa dengan kekasih sejatinya yang pasti sudah sangat merindukannya. Dan beliau pun merindukan kekasih abadinya. Tunai sudah janji bakti, berkhidmat hingga akhir hayat. Tidak melepas jubah amanah hingga nafas penghabisan.
Bekerja untuk Allah Ta’ala, hingga 21 tahun mengabdi, bukanlah hal yang mudah. Onak duri pasti mengelilingi. Tapi beliau senantiasa menunjukkan penampakkan yang teduh, tenang, dan selalu menyelingi dengan canda dan senyuman sekalipun untuk pembahasan yang pelik dan berat.
Profilnya yang setia mengenakan peci hitam membuat yang memandangnya jadi sempat membayangkan seolah beliau adalah gambaran dari miniatur Rasulullah SAW. Banyak orang yang memiliki sejuta kenangan bersamanya karena beliau selalu ada di mana pun dan bersama siapa pun. Siapa pun, meski yang kenal dekat atau tidak dekat, pasti merasakan kehilangan yang amat sangat dan merasa turut memiliki beliau. Beliau bukan hanya milik keluarganya, tapi milik umat.
Orang tua saya yang merupakan Jemaat Garut sering bercerita tentang orang tua beliau dan anak-anaknya ketika berada di cabang Garut. Kakak saya pun pernah bercerita bahwa Pak Amir sebagai alumni SMAN 1 Garut akan reuni sekolah. Betapa bangganya kami bisa satu almamater dengan Pak Amir di SMA terbaik di kota kami tinggal dulu.
Beberapa kenangan terlintas. Suatu saat ada pelatihan murabbi di Jakarta. Bahagia rasanya ketika ada sesi di mana Pak Amir tampil sebagai pemateri. Tak ada ketegangan. Pembahasan berlangsung dengan santai, tuntas, nyaman. Membuka wawasan baru yang lengkap dengan kebijakan yang jelas. Sungguh beruntung mendapat ilmu yang kuat dari Beliau.
Hal yang tak kalah mengagumkan adalah pendapatnya tentang hal yang sensitif untuk kaum hawa. Sempat saya dengar jawaban beliau yang bijak tentang pernikahan. Saat itu kalau tidak salah ada seseorang yang menyatakan ketakutannya tentang konsep poligami. Dengan tersenyum Pak Amir pun mengeluarkan pendapat yang meneduhkan hati, “Tidak mesti punya istri lagi. Kalau dengan menikah lagi malah keluarga lama menjadi berantakan, lalu apa artinya membuat keluarga baru?” Kurang lebih begitu.
Pada kenyataannya, Pak Amir memang tidak hanya asal pandai berbicara, tapi telah menjadi bukti nyata. Sampai akhir hidupnya, Pak Amir merupakan suami yang setia. Hanya memiliki satu istri saja meski tinggal berbeda negara. Pasti bukan suatu hal yang mudah bagi seorang pemimpin besar dengan kondisi demikian bisa kuat seperti itu bila bukan karena tingkat pengendalian dan ketaqwaan yang super tinggi dan rasa cinta yang besar pada keluarga.
Di suatu bulan Ramadhan, seperti biasa kami ikut itikaf di Kemang karena ingin lebih khusyu, dipandu oleh pusat bersama para mubaligh serta teman dari seluruh Indonesia. Itikaf kala itu menjadi itikaf yang paling berkesan karena baru Ramadhan kali itu yang hitungan itikafnya akhirnya diputuskan terhitung 11 hari, setelah sempat galau antara 10 hari dan 11 hari.
Sementara itu, para peserta itikaf yang dari tempat jauh telanjur pesan tiket pulang untuk esok harinya, karena mengira esoknya hari Ied. Namun kenyataannya, di malam lebaran itikaf kali itu, sidang Isbat memutuskan malam itu bukan malam terakhir Ramadhan. Akhirnya kami lanjutkan shalat tarawih lagi malam itu sebagai tarawih penutupan, tak jadi pulang esok harinya karena harus lanjut berpuasa.
Wajah-wajah kecewa terlihat begitu jelas. Pak Amir tahu kegundahan hati para peserta itikaf dan menyampaikan materi yang membangkitkan motivasi sehingga semangat lanjut berpuasa sehari lagi jelang Hari Ied besok pagi. Pak Amir berseloroh dalam bahasa Padang, mengibaratkan para pelaksana puasa hari ini ibarat penjahit yang sedang membuat baju dengan bagian tangan yang kurang sedikit potongannya, nanggung. Supaya jadi baju yang sempurna maka harus dilanjutkan menjahit bagian tangan hingga selesai mendapatkan tangan yang sebagaimana seharusnya.
Kami cukup mengerti dengan perumpamaan itu dan akhirnya bisa menyelesaikan 11 hari itikaf tanpa keluh kesah. Bahkan menjadikan ajaran Pak Amir hari itu menjadi filosofi untuk kelanjutan kejadian-kejadian berikutnya dalam hidup. Jangan nanggung berbuat kebaikan, harus sampai tuntas. Jangan sampai gara-gara ketidaksabaran dan tidak menguatkan diri sedikit lagi saja, akhirnya tidak sampai ke surga padahal tinggal sejengkal lagi.
Di lain kisah di suatu tahun, alangkah bahagianya ketika suatu saat kami bisa safari bersama Pak Amir saat Jalsah Qadian. Saat itu ada kejadian yang cukup membuat hati saya khawatir dan gugup karena kakak saya kehilangan paspor, padahal kami sedang menuju perjalanan ke Bandara Singapore untuk lanjut terbang naik India Air menuju New Delhi.
Di dalam bis, saya mencari paspor kakak dari kursi depan hingga belakang. Saat tiba di kursi paling belakang, saya kaget luar biasa tapi hati yang sedang gelisah tiba-tiba jadi tenang ketika tanpa saya sangka terlihat ada sosok nomor 1 JAI yang sedang duduk santai di jok itu. Saya punya keyakinan, jika di kendaraan ini ada orang dengan tingkat ketaqwaan yang tinggi, insya Allah persoalan akan mendapat solusinya.
Sebelum pandemi melanda Indonesia, alhamdulillah saya mendapat karunia menghadiri Majlis Syuro, bertemu dengan seluruh perwakilan Lajnah se-Nusantara. Pagi harinya, kami menyambut kedatangan Pak Amir yang akan menggunting pita pameran hasil karya para Lajnah se-Indonesia. Alhamdulillah Pak Amir pun selesai meresmikan dan kemudian Pak Amir berkeliling mengunjungi stand-stand dari berbagai daerah.
Sungguh di luar dugaan dan sangat mengesankan, Pak Amir berkenan mengunjungi sambil berbelanja. Meskipun para lajnah menggratiskan tapi Pak Amir tak mau gratis. Beliau mengeluarkan beberapa lembaran merah dari sakunya untuk membeli batik, dan barang lainnya. Sungguh pribadi yang sangat menghargai kerja keras dan karya seseorang.
Saat pelatihan pengurus daerah, kami para ketua daerah saat itu diberi kesempatan ikut menghadiri peresmian perpustakaan Lajnah yang megah di dekat Gedung LI oleh Bapak Amir. Saat itu mata saya sempat melihat perawakan Pak Amir yang mulai menyusut. Hati berdesir sedih namun masih mampu merasa bahagia ketika mendengar bahwa setelah meresmikan perpustakaan, Pak Amir akan langsung ke bandara untuk umroh bersama dengan rombongan Jemaat.
Kesedihan semakin menyeruak dada ketika saat Jalsah virtual melihat Pak Amir tampil dengan balutan syal di lehernya. Mungkin itu bukan sembarang syal yang menggantung begitu saja, tapi ada sesuatu di balik syal itu yang menentukan kesehatannya. Air mata berurai dan dada ini terasa sesak melihat Pak Amir yang dulu gagah dan muda, kini mulai terlihat lemah.
Namun sungguh salut akan semangatnya yang terus berjuang menghadiri acara demi acara yang akan jadi kuat karena kehadirannya. Sempat terdengar ada suara yang berujar pelan dan diucapkan dengan desah yang berat, ” Andaikan Pak Amir bisa sampai di jalsah berikutnya, itu merupakan suatu keajaiban besar yang sangat membahagiakan kita semua.”
Sejak saat itu, tak ada shalat tanpa menyelipkan doa khusus untuk Pak Amir. Yakin, semua doa akan dikabulkan. Kalaupun bentuk pengabulannya belum sesuai harapan, pasti akan Allah berikan pengabulannya untuk hadiah besar di kehidupan kelak. Rupanya Jalsah virtual Indonesia kemarin merupakan jalsah Indonesia terakhir Pak Amir.
Selamat jalan, sang pejuang tangguh. Tak kuasa lagi melanjutkan untaian kata-kata untuk Pak Amir. Duka ini terlalu dalam. Saat ini mungkin beliau tengah berbahagia, sukses dalam pertanyaan kuburnya, tidur di dalam ruangan yang luas, terang benderang, dan harum semerbak, mendapatkan nikmat-nikmat kubur. Insya Allah beliau diperkenankan bertemu dan berkumpul Rasululllah SAW dan para sahabat, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dan para khalifahnya, juga dengan ayah bunda dan kakaknya tercinta, dalam naungan cinta Allah Ta’ala.
Hits: 359