PENTINGNYA MENGAMBIL RUKHSHOH YANG ALLAH BERIKAN

“Alhamdulillah, walaupun sakit saya masih kuat puasa, dan mengatur jadwal minum obat pada saat buka puasa, sebelum tidur dan sesudah makan sahur”, ucap seorang kerabat.

Selintas, perkataan itu menunjukkan betapa seseorang yang sedang sakit pun memiliki ghairat yang luar biasa untuk bisa menjalankan puasa. Namun, jika kembali kepada aturan semestinya, hal tersebut tentu saja merupakan tindakan yang tidak tepat. Karena Allah Ta’ala sendiri telah memberikan keringanan (rukhshoh) untuk tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan menggantinya di hari lain.

Tetap menjalankan puasa di saat kondisi sakit, bukan perkara kuat atau tidak kuat menahan lapar dan dahaga. Tetapi tindakan tersebut telah menunjukkan ketidaktaatan pada apa yang Allah Ta’ala perintahkan.

Manusia sering memohon supaya Allah Ta’ala menjauhkannya dari kesulitan, dari kepayahan, dari rasa sakit, meminta kesembuhan dan memohon agar Allah Ta’ala tidak memberikan beban yang melebihi kemampuannya. Dan Allah Ta’ala yang Maha Pengasih memberikan semua itu. Namun, mengapa pada saat sakit, ketika Allah Ta’ala memberikan Kemurahan-Nya dalam bentuk rukhshoh, manusia malah mengabaikannya, dan merasa diri kuat, tidakkah hal ini merupakan bentuk kesombongan?

Sejatinya puasa bukanlah sekedar soal kuat tidak makan dan minum dalam jangka waktu tertentu. Jika puasa terbatas pada hal-hal itu, maka orang paling kafir pun dapat melakukannya.

Di dalam Alquran banyak ditemukan ayat yang menunjukkan betapa Maha Pengasihnya Allah Ta’ala. Dia tak menghendaki kesukaran bagi hamba-hamba-Nya. Dia justru memberikan banyak kemudahan agar hamba-hamba-Nya merasakan bahwa di atas jalan-jalan ibadah, Kasih-Nya meliputi jalan-jalan tersebut.

“…Maka barangsiapa di antaramu hadir pada bulan ini hendaklah ia berpuasa di dalamnya, tetapi barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka berpuasalah sebanyak bilangan itu pada hari-hari lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Dia tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 185)

“Allah hendak meringankan beban darimu, karena manusia telah diciptakan lemah.” (QS. An-Nisa: 28)

“Kami tidak menurunkan Al-Qur’an kepada engkau supaya engkau susah. Melainkan sebagai suatu peringatan bagi siapa yang takut kepada Allah.” (QS. Thaha: 2-3)

Demikian pula dalam beberapa Hadits, Rasulullah Saw telah memberikan petunjuk dengan gamblang, diantaranya:

Abu Hurairah r.a berkata: Bersabda Nabi Saw.: “Sesungguhnya perkara agama ini sangat ringan, dan tiada seorang yang mencoba mempersukar dalam agama, melainkan dapat dipastikan bahwa ia akan kalah. Sebab itu, sedang-sedanglah kamu, dan berdekat-dekatlah, dan buka harapan dan pergunakan waktu pagi dan sore dan sedikit waktu malam.” (HR. Bukhari)

Ibn Mas’ud ra berkata: Bersabda Nabi Saw: “Telah binasa orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama. Diucapkan berulang tiga kali.” (HR. Muslim)

Ibn Umar ra berkata: “Kami telah dilarang memaksa-maksakan diri.” (HR. Bukhari)

Berdasar pada beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits di atas, nampak jelas bahwa Allah Ta’ala dengan segala Kemurahan-Nya menghendaki kemudahan bukan kesukaran dalam perkara agama. Maka sudah seyogianya kemurahan Allah Ta’ala ini diterima dengan sukacita agar Allah Ta’ala pun senang dan ridha.

Di masa Hazrat Masih Mau’ud as ada sebuah riwayat yang dapat menggambarkan bagaimana Hazrat Masih Mau’ud as memberikan petunjuk mengenai rukhshoh ini.

Pada tanggal 28 Oktober 1906, Hadhrat Masih Mau’ud as. keluar untuk bertemu dengan Syekh Muhammad Cattu yang datang dari Lahore. Orang ini sebelumnya berasal dari firqah Ahli-Hadits. Kemudian beliau masuk kelompok Cakralwi. Ketika bertemu dengan Hadhrat Masih Mauud a.s. orang ini sudah masuk kelompok Cakralwi. Hadhrat Masih Mau’ud as. keluar untuk menjumpai sang Syekh sambil jalan-jalan pagi. Setelah bertemu dan berbincang-bincang, Hadhrat Masih Mau’ud as. berkata kepada Syekh Muhammad Cattu:

“Tuan kan musafir. Tentu Tuan tidak berpuasa bukan?” Syekh Muhammad Cattu menjawab: “Tidak, saya berpuasa. Saya sedang puasa”.

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda:

“Dasar permasalahannya adalah, mengamalkan keringanan yang disampaikan oleh Al-Quran Karim pun merupakan takwa. Allah Ta’ala memberikan ijin dan keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk berpuasa di hari lain. Oleh karena itu perintah ini pun hendaknya harus diamalkan. Saya baca bahwa kebanyakan tokoh-tokoh besar cenderung menyatakan bahwa jika ada yang berpuasa dalam perjalanan atau dalam kondisi sakit, maka hal itu merupakan suatu dosa. Sebab yang menjadi tujuan adalah keridhaan Allah Ta’ala, bukannya keinginan kita sendiri. Sedangkan keridhaan Allah Ta’ala itu adanya dalam ketaatan.”

“Apa saja yang Dia perintahkan hal itu harus ditaati, dan jangan membubuhkan tambahan pada perintah itu dari pihak kita sendiri. Dia kan telah memberikan perintah ini, “Man kaana minkum maridhan au ‘alaa safarin faiddatun-min ayyamin ukhar — barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan maka berpuasalah pada hari-hari lain.” (Al-Baqarah: 185)

“Di situ tidak ditentukan bahwa yang dimaksud disitu adalah perjalanan yang demikian dan penyakit yang demikian. Saya tidak berpuasa dalam perjalanan. Dan demikian pula halnya dalam keadaan sakit. Hari ini pun kesehatan saya tidak baik, dan saya tidak berpuasa. Dengan jalan-jalan penyakit akan sedikit berkurang, oleh karena itu saya akan pergi jalan jalan keluar. Apakah tuan akan turut serta?”

Syekh Muhammad Cattu berkata, “Tidak, saya tidak bisa ikut. Tuan pergilah. Perintah itu memang tidak diragukan lagi, akan tetapi jika di dalam perjalanan itu tidak ada susahnya, mengapa tidak berpuasa saja?”

Hadhrat Masih Mauud a.s. bersabda, “Itu adalah pendapat Tuan sendiri. Al-Quran tidak ada menyinggung apakah hal itu dengan adanya susah atau tanpa susah. Sekarang Tuan sudah tua. Umur tidak bisa diharapkan lagi. Manusia itu hendaknya memilih jalan yang darinya Allah Ta’ala menjadi ridha dan memperoleh jalan yang lurus.”

Syekh Muhammad Cattu berkata: “Untuk itulah saya datang, supaya saya dapat mengambil manfaat dari Tuan. Jika demikian jalan yang benar, maka jangan sampai kami ini mati dalam keadaan ghafil (lalai)”.

Hadhrat Masih Mauud as. bersabda: “Yaa, itu adalah suatu hal yang sangat baik.” (Malfuzat, jld. IX, hlm. 71-73).

Maka, tidak ada hal yang meragukan lagi bahwa Allah Ta’ala sudah memberikan keringanan dalam hal mengganti puasa bagi yang sakit atau dalam perjalanan. Dan rukhshoh (keringanan) ini harus diterima sebagai bentuk ketaatan, sebagai cara mengagungkan Allah Ta’ala, dan sebagai ungkapan syukur serta semata-mata mengharap ridha Allah Ta’ala.

.

.

.

editor: Muhammad Nurdin

Visits: 212

Ai Yuliansah

2 thoughts on “PENTINGNYA MENGAMBIL RUKHSHOH YANG ALLAH BERIKAN

  1. Benar, Ss Ai. Yang paling utama dan sebagai kunci adalah “La‘allaKum tattaqūn,” sebagai bentuk maupun manifestasi ketaqwaan kita kepada Allāh Ta‘ālā.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *