Rasa Iri yang Diperbolehkan
Konon antara Hasan Al- Bashri dan Ibnu Sirin ada rasa sentimen. Keduanya tidak saling menyapa. Hasan Al-Bashri merasa tidak suka bila orang-orang membicarakan Ibnu Sirin.
Suatu hari Hasan Al-Bashri bermimpi, di dalamnya seolah-olah ia berjalan telanjang di kandang binatang sambil membuat sebatang tongkat. Dia terbangun di pagi harinya dengan perasaan bingung. Tiba-tiba dia teringat pada Ibnu Sirin, tetapi karena gengsinya, maka dia menyuruh teman dekatnya untuk menemui Ibnu Sirin dan menceritakan mimpinya sebagai mimpi dirinya sendiri.
Teman dekat Hasan Al-Bashri segera menemui Ibnu Sirin lalu menceritakan mimpi tersebut. Ibnu Sirin hanya mengatakan, kalau berani, pemilik mimpi tersebut menemuinya, jangan berlagak sombong. Hasan Al-Bashri merasa kesal dan bingung bahkan merasa tertantang. Setelah berpikir ia memutuskan untuk pergi menemui Ibnu Sirin dan meminta temannya untuk mengantarkan dia.
Ketika Ibnu Sirin melihat kedatangan Hasan Al-Bashri, beliau menyambutnya dengan baik. Setelah saling berucap salam, Hasan Al-Bashri mengambil tempat duduk berjauhan. Ia menyuruh Ibnu Sirin agar segera menakwilkan mimpinya. Ibnu Sirin pun segera menakwilkan mimpinya. “Telanjang dalam mimpi berarti ketelanjangan dunia. Artinya, engkau sama sekali tidak bergantung padanya karena engkau orang yang zuhud. Kandang binatang adalah lambang dunia yang fana ini. Sedangkan sebatang tongkat yang engkau buat adalah lambang yang engkau katakan serta mendatangkan manfaat bagi orang lain.”
Sesaat Hasan Al-Bashri terkesima. Ia kagum pada kehebatan Ibnu Sirin sebagai ahli penafsir mimpi dan percaya sekali pada penjelasannya. “Tetapi bagaimana engkau tahu kalau aku yang mengalami mimpi itu?” tanya Hasan Al-Bashri.
“Ketika teman engkau menceritakan mimpi tersebut kepadaku, aku berpikir bahwa hanya engkaulah yang pantas mengalaminya.” jawab Ibnu Sirin. [1]
Kisah di atas menceritakan kelebihan dari masing-masing dirinya yang membuat mereka saling mengagumi. Inilah bentuk iri hati yang diperbolehkan sebagaimana yang diriwayatakan dalam sebuah hadits. Hadhrat Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh iri kecuali dalam dua keadaan: Seseorang yang diberi karunia harta oleh Allah lalu ia infakkan sampai habis di jalan kebenaran, dan seseorang yang dikarunia hikmah oleh Allah lalu ia memutuskan perkara dengannya dan ia mengajarkannya.” [2]
Iri dalam hal ini akan memacu orang untuk bisa melakukan apa yang dikerjakannya dalam konotasi yang positif. Makanya, iri ini bukan sesuatu yang buruk. Orang yang iri bila melihat orang kaya berinfak tentu akan memacu dirinya untuk berinfak juga. Begitu pula orang yang iri karena memiliki ikmu hikmah maka akan tercipta manusia-manusia yang saling memperbaiki diri. Mereka akan berpacu dalam kebaikan sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [3]
Lebih lanjut dijelaskan dalam tafsirnya: Seorang muslim harus menetapkan tujuannya, kemudian ia harus mencurahkan segala perhatiannya dengan segala upaya untuk dapat mencapainya. Mereka berpacu di antara sesama muslim dengan semangat perlombaan yang sehat lalu berusaha saling mendahului. Tetapi hendaknya mereka juga menolong kawannya yang mungkin tersandung agar bisa bangkit dan melanjutkan kembali perlombaannya.
Betapa indah iri yang seperti itu. Persaingannya semua berdasarkan kebaikan. Tidak menimbulkan perselisihan malahan timbul sifat empati untuk saling mendukung dalam hal kebaikan. Seperti yang disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as.: Seorang muttaki hendaknya menjalani hidup ini dengan penuh kesederhanaan. Cabang dari ketakwaan yang dengan perantaraannya kita bisa melawan amarah. Karena kesombongan dan keangkuhan timbul dari amarah. Itulah sebabnya mengapa tahapan ini menjadi tahapan yang terakhir dan paling sulit bagi orang-orang yang memperoleh makrifat serta bagi para siddiq yaitu menghindarkan diri dari amarah. Sebab amarah timbul tatkala diri merasa lebih tinggi dari yang lain. [4]
Referensi:
[1] Kumpulan Kisah Teladan & Humor Sufi, MB Rahimsyah AR
[2] HR. Bukhari dan Muslim
[3] QS. Ali Imran 3: 149
[4] Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud as. pd Jalsah Salanah 25 Des. 1897/Malfuzaat jld. 1, hal. 36
Visits: 43
Tulisan yang menarik dan menginspiratid, Jazakumullah