Rayuan Dunia Nyaris Melunturkan Imanku

Entah mengapa. Ceramah Pak Mubaligh hari itu seolah menjadi jawaban atas kebimbangan yang tengah kualami. Aku pun mantap menolaknya. Menutup pintu hatiku sama sekali untuk seorang ghair-Ahmadi. Seberapa tampan dan mapannya ia.

Suatu waktu bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, seperti biasa semua orang Muslim mengadakan silaturahmi, saling kunjung mengunjungi sesama saudara, teman, kerabat dekat maupun kerabat jauh. Begitupun keluarga kami dikunjungi kerabat jauh yang tidak bertalian darah secara langsung, yaitu seorang bibi dan paman.

Dulu waktu kami masih kecil, mereka sering datang berkunjung. Kemudian bertahun-tahun setelahnya, sekian lama tidak ada kabar dari mereka, karena kesibukan dan tinggal di lain kota. Sekarang saat kami menjelang dewasa, mereka berkunjung kembali dan kami pun tidak mengenalinya.

Setelah seminggu berlalu, Bibi mengabari melalui telepon kepada Ibu. Mereka ingin menyambung silaturahmi lebih erat lagi dengan tali kekeluargaan. Mereka bermaksud menjadikan orangtuaku sebagai besannya. Tentu saja kami anak-anaknya bertanya-tanya, siapa yang akan dijodohkan oleh ibuku? Bila berkunjung, Bibi dan Paman tak pernah membawa anak-anaknya.

Ketika kumpul bersama, Ibu mengutarakan, “Bibi memiliki anak laki-laki yang siap untuk menikah dan bermaksud untuk menjodohkan dengan salah satu anak Ibu.” Semua saudara yang ada menatapku.

Siapa lagi kalau bukan aku yang dimaksud Ibu. Kedua kakak perempuanku sudah menikah dan tak mungkin adik perempuanku yang akan dijodohkan. Usiaku saat itu 22 tahun yang menurut ibuku cocok untuk berumahtangga, walau harus melangkahi kakak laki-lakiku.

Aku terdiam seribu bahasa, tak ada keluar ucapan sedikitpun untuk menerima atau menolaknya. Malah saudara-saudaraku yang penasaran dan menanyakan bagaimana sosok lelaki yang akan menjadi calon yang akan dijodohkan denganku.

Ibu rupanya sudah mulai terpikat dengan ucapan dari Bibi, terlihat dari penjelasan Ibu, “Anaknya tampan, baik, seorang sarjana, sudah menjadi PNS, sudah memiliki rumah sendiri, memiliki beberapa usaha sampingan.”

Saudaraku yang lainnya mendukung supaya aku dapat menerimanya. Aku pun mulai tertarik dengan apa yang disampaikan ibu dan hanya menjawab, “Memangnya dia sudah tahu aku?”

Ibu langsung menimpaliku, “Tentu sudah tahu, dong! Waktu Bibi dan Paman ke sini, mereka meminta fotomu. Ya sudah Ibu kasih saja foto yang ada.” Ternyata diam-diam Ibu sudah memberikan foto tanpa sepengetahuanku.

Lama aku tertegun membuat saudara yang lain penasaran dengan jawabanku. Terbesit dalam pikiranku, langsung menanyakan dan keluarlah ucapan dari bibirku, “Maaf, Bu. Apakah dia seorang Ahmadi juga? Paman dan Bibi tahu, kan, kalau kita Ahmadi?”

Ibu terdiam sebentar dan mengatakan, “Paman dan Bibi sudah tahu dari dulu kalau kakek/nenek dan keluarga kita adalah Ahmadi sejak dulu. Tetapi Paman dan Bibi bukan Ahmadi.”

Mendengar penjelasan tadi aku malas membahasnya lagi dan ingin segera kuputuskan untuk menolaknya. Padahal sebelumnya aku sempat tergoda dan tertarik dengan kemapanan orang yang akan dijodohkan denganku.

Tetapi belum juga aku menjawab, Ibu sudah mengatakan, “Soal itu, mah, insya Allah dengan berjalannya waktu kita kenalkan Ahmadiyah pada anaknya.” Perkataan Ibu didukung oleh salah satu kakakku, “Iya, terima aja dulu. Siapa tahu kalau sudah menikah, dia mau baiat.”

Haa? Segampang itu?’ Aku berteriak dalam benakku, tak berani kuungkapkan karena khawatir terjadi percekcokan.

Ucapan mereka membuatku bimbang dan ragu. Tetapi dalam batinku, seperti ada dorongan yang sangat kuat untuk menolaknya. Setiap hari aku diliputi kebimbangan dan keraguan. Aku terus berusaha mempelajari Ahmadiyah lebih dalam, mengikuti pengajian-pengajian maupun membaca buku-buku Jemaat dan mulai paham sedikit demi sedikit.

Keinginan yang kuat timbul dalam hati kecilku, aku ingin memliki jodoh dari sesama Ahmadi. Aku berharap nantinya aku dapat seperti yang lain, datang ke masjid bersama keluarga lengkap.

Hampir setiap hari aku bangun malam melaksanakan sholat Tahajud, bersimpuh dan berdoa di hadapan Sang Khalik. Kupanjatkan doa memohon yang terbaik bagi jodohku. Juga memohon petunjuk untuk dapat memberi penjelasan yang tepat kepada ibuku supaya hatinya luluh dan menerima keputusanku.

Ketika aku ke masjid menghadiri pengajian, kebetulan saat itu Bapak Mubaligh sedang berceramah mengenai perjodohan dalam Islam dan Ahmadiyah. Beliau mengatakan, “Menikahlah, harus dengan sesama Ahmadi, supaya tidak terjadi perselisihan di kemudian hari dan tidak timbul penyesalan.”

Bapak Mubaligh menjelaskan lagi, “Kalau ingin cepat mendapatkan jodoh, dekatlah dengan masjid. Maksudnya, banyaklah berdoa, meningkatkan ibadah, dan aktiflah untuk datang ke masjid mengikuti semua kegiatan dalam Jemaat. Jodoh sudah ditentukan oleh Allah, kita tinggal menunggu waktunya saja.” Itulah kata-kata yang terus terngiang dan selalu kuingat.

Bersyukur Allah telah mengabulkan doaku melalui penjelasan Bapak Mubaligh saat pengajian itu. Sehingga dapat menguatkan pendirianku, sebagai bekal untuk menjelaskan kepada ibuku nanti.

Sayang mereka tidak mengikutinya. Seandainya mereka hadir di pengajian itu, tentu mereka akan paham dan tidak akan menjodohkanku dengan non-Ahmadi. Tapi aku memaklumi, mereka begitu karena ketidaktahuannya.

Waktu berlalu, Ibu menanyakan kembali, “Gimana, Siti? Bibi sudah menanyakan lagi. Katanya kalau kamu setuju, bulan depan mereka mau berkunjung lagi ke sini, berkenalan langsung lamaran.”

Tercengang aku mendengarnya. Langsung aku berucap. “Secepat itu, Bu?”.

Sambil berdoa dalam hati, semoga Ibu dapat luluh hatinya dan tidak marah atas jawabanku nanti, aku dekati Ibu. Dengan suara perlahan dan penuh kehati-hatian, khawatir ibu tersinggung, kuberanikan diri dan berucap, “Maaf sekali, Bu. Siti tidak bermaksud melukai hati ibu, tetapi batin Siti bergejolak dan menolak bila harus memiliki suami dari ghair (non) Ahmadi. Tentunya sulit untuk menyamakan persepsi dan bagaimana jadinya nanti bila tidak satu jalan?”

Tak sadar aku pun menitikkan air mata sambil memberikan penjelasan apa yang sudah disampaikan oleh Bapak Mubaligh. Kemudian aku berkata lagi, “Bu, lebih baik kita menolak dari sekarang, supaya tidak terlalu sakit nantinya.”

Sambil terisak, Ibu berkata padaku, “Maafkan Ibu, Siti! Tadinya Ibu ingin membahagiakan kamu, Nak! Tapi bila anak Ibu tidak bahagia, untuk apa?! Ibu baru paham sekarang, mendengar penjelasan tadi. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik semoga kamu cepat mendapat jodoh dari sesama Ahmadi.”

Itulah jawaban yang menyejukan hatiku. Kudekap ibu dengan erat. Alhamdulillah, setelah aku jelaskan sesuai yang kudapatkan dari Bapak Mubaligh, akhirnya hati Ibu luluh dan beliau mengerti. Tidak ada kemarahan sedikit pun.

Bagaimana memberikan jawaban kepada Bibi, Bu? Bagaimana nanti hubungan baik keluarga kita? Apakah jadi terputus?” tanyaku gelisah.

Ibu menjawab dengan tenangnya, “Jangan khawatir, Siti! Itu sudah menjadi resiko kita. Lebih baik terputus hubungan keluarga daripada kita terputus dengan Jemaat.” Tanpa kuduga Ibu akan memberikan jawaban seperti itu.

Benar saja, yang dikhawatirkan kami terjadi. Sikap Bibi dan Paman langsung berubah, sangatlah berbeda dari sebelumnya. Semenjak itu sampai sekarang, tak lagi kami bertegursapa atau pun saling berkunjung dengan mereka.

Aku mengerti alasan Ibu menjodohkanku dengan ghair Ahmadi. Selain ingin menjalin kekeluargaan yang lebih erat, juga ada kekhawatiran beliau sebagai orangtua yang memiliki anak gadis yang sudah cukup umur untuk menikah, tetapi belum ada yang melamar, sementara usia akan terus bertambah.

Lega dan tenang rasanya satu urusan dapat terselesaikan.

Alhamdulillah, berkat doa yang kupanjatkan, akhirnya Ibu menjadi sadar kembali. Rayuan duniawi sempat menggelapkan hatinya dan nyaris menurunkan keimanannya.

Seiring dengan berjalannya waktu, melalui perantaraan teman, saudara maupun pengurus Jemaat Ahmadiyah Cabang, aku pun dipertemukan dengan beberapa khadim sebagai ikhtiar mendapatkan jodoh. Aku tak pernah menolak maupun pilih-pilih bila ada khadim yang ingin berkenalan dan dekat denganku. Sempat aku beberapa kali menjalin hubungan, tetapi kandas di tengah jalan tak sampai ke jenjang pernikahan.

Sebagai manusia biasa aku pun merasa kecewa, jodoh yang cocok tak kunjung datang. Tetapi aku yakin akan firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an, bahwa Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan.

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 47-49).

Mengingat ayat tersebut membuat hatiku tenang. Tak henti-hentinya aku memanjatkan doa, bangun tengah malam untuk melaksanakan sholat Tahajud, menjalankan puasa sunah dan meningkatkan ibadah lainnya sesuai pesan dari Bapak Mubaligh.

Saat mendekati usia perak, aku diperkenalkan oleh pengurus dengan seorang khadim yang baru 1 tahun bergabung dengan Jemaat Ahmadiyah. Khadim tersebut sebelumnya sudah mengenal Jemaat berkat ditablighi oleh temannya yang seorang Ahmadi dan sama-sama sedang merantau di negeri Paman Sam.

Melalui perantaraan pengurus cabang dan temannya, kami saling berkenalan melalui dunia maya, melalui telepon dan email. Belum ada media sosial seperti sekarang. Sambil berkenalan lebih jauh kami saling berbagi informasi dan mendalami ajaran Ahmadiyah.

Kami berusaha menjalani hubungan tak lepas dari pengawasan orangtua dan pengurus yang memperkenalkan kami, untuk menjaga pardah. Aku tak ingin terburu-buru walaupun usiaku terus bertambah. Aku tak ingin mengalami kekecewaan yang terulang.

Singkat cerita, 2 tahun lamanya kami berhubungan jarak jauh. Orang-orang menyebut kami pasangan Long Distance Relationship atau LDR. Di awal tahun, khadim itu mengutus keluarganya yang masih ghair Ahmadi, datang ke rumah orangtuaku untuk melamar. Di pertengahan tahun dia pulang untuk memantapkan niatnya dan melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.

Tak perlu menunggu lama, kami bertemu di dunia nyata hanya dua kali. Dan ketiga kalinya kami melangsungkan akad nikah dan walimah sesuai dengan pedoman/panduan Rishta Nata yang dianjurkan oleh pengurus.

Alhamdulillah setelah penantian yang panjang dengan penuh kesabaran dan lika liku, akhirnya doaku dikabulkan. Aku mendapatkan jodoh di usia yang sangat matang dan lebih dewasa.

Semoga kisahku ini dapat menguatkan saudari-saudari Lajnahku yang masih lajang. Ingatlah selalu akan pesan Khalifah kita, “Menikah harus dengan sesama anggota Jemaat. Lajnah harus menikah dengan Khudam, demikian pula Khudam harus menikah dengan Lajnah.”

Jangan khawatir dan resah bila belum juga mendapatkan jodoh sesama Ahmadi. Jangan sampai tergiur akan rayuan duniawi yang dapat menggelapkan mata dan hati kita, sehingga terjerumus dan menjauh dari Jemaat-Nya. Bersabarlah, dekatkanlah diri kepada Illahi dengan memperbanyak doa dan meningkatkan amal shaleh. Insya Allah bila waktunya tiba, jodoh tidak akan lari kemana-mana.

Aku juga ingin mengingatkan kembali pesan Khalifah bagi para orangtua, “Jangan berikan anak perempuan kepada ghair Ahmadi!” Hadhrat Masih Mauud a.s. pun bersabda, “Biar anak gadis tinggal selamanya di dalam rumah, tapi jangan sekali-kali memberikannya pada ghair Ahmadi!”

Sebagai penutup, aku ingin mengutip sebuah pidato Hazrat Khalifatul Masih II r.a. pada Jalsah Salanah tgl. 28 Desember 1915 di Qadian, India. “Oleh sebab itu, jadilah orang Ahmadi dalam pandangan Allah, dan berusahalah sekuat tenagamu untuk menaati perintah Hazrat Masih Mau’ud a.s.. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan taufik-Nya kepada kalian. Aamiin.”

.

.

.

editor: Lisa Aviatun Nahar

Visits: 61

Liana S. Syam

4 thoughts on “Rayuan Dunia Nyaris Melunturkan Imanku

  1. Mubarak … Jadi ingat masa2 remaja kita , bagaimana kita berjuang bt mendapatkan jodoh seorang khudam dan ujung kesabaran itu berbuah kebahagian ..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *