SEBUAH ILHAM DI TENGAH PELIK KEHIDUPAN
Seorang bocah bernama Eman Tarman, duduk di bangku SD kelas 3. Namun ia terpaksa meninggalkan sekolah karena keadaan. Ayahnya menikah lagi, hidup dengan keluarga barunya. Sementara bocah Eman, ibu dan adik perempuannya yang baru berumur 2 tahun ditinggalkan dan disia-siakan.
Bocah Eman pernah sempat mencari dan menemukan ayahnya. Namun, bukan cinta yang didapatkan, melainkan pengusiran. Ayahnya berkata, “Jangankan mengurus dan memberi makan kamu, untuk Bapak dan keluarga Bapak saja sulit.”
Pulanglah bocah Eman dengan membawa hati yang pedih. Ia kembali kepada ibunya. Namun sesampainya di rumah, ibunya yang hatinya telah tergoncang keadaan, menambah pedih hati bocah Eman dengan sikap keras dan kata-kata kasar. Bocah Eman menjadi pelampiasan emosi yang tak tertahankan.
Bocah Eman berteman-hidup dengan kepiluan. Tapi, keadaan memaksanya menjadi sosok yang kuat.
Kehidupan yang sulit memaksa bocah Eman untuk tidak saja putus sekolah, tetapi juga bekerja mencari nafkah. Ia terpaksa menjadi tulang punggung untuk ibu dan adik kecilnya. Ketika umurnya menginjak 9 tahun, ia mendapat kerja menjadi pencari rumput untuk makan kuda milik seorang warga di kampungnya.
Kesehariannya ia habiskan di kebun di bawah terik panasnya matahari. Kadang ketika hujan membasahi tubuhnya, ia tetap harus mencari rumput sampai berkarung-karung. Bukan hanya sekali, tapi sampai 2-3 kali dalam sehari.
Bila sore tiba, ia pulang membawa upah. Walau tak seberapa, tetap ia berikan pada ibunya. Pekerjaan berat yang harus dijalaninya sebagai anak kecil seusianya, tidak jarang membuatnya sakit-sakitan. Tapi ia tak peduli. Ia memilih bertahan demi ibu dan adiknya.
Keadaan yang masih saja sulit membuat sang ibu berpikir untuk pergi. Ibunya pun kemudian memutuskan pulang ke Banten sambil membawa adiknya. Bocah Eman ditinggalkan bersama sang nenek. Bocah Eman tetap bekerja sampai ia menginjak usia 11 tahun.
Setelah lama berpisah, bocah Eman berniat ingin pergi mencari sang ibu. Ia nekat mencari alamat yang tak pernah ia tahu. Nekat menempuh perjalanan melewati Garut daerah selatan, bocah Eman berangkat dari Pameungpeuk menumpangi truk yang memuat getah karet.
Perjalanan dari Garut ke Banten kala itu ditempuhnya dalam waktu berhari-hari. Berhari-hari ia bermalam di atas truk, diturunkan di sebuah hutan yang membuatnya harus memanjat pohon supaya aman dari serangan binatang buas, hingga kemudian ia melanjutkan perjalanan dari hutan itu menuju Banten dengan menumpangi truk yang lewat keesokan paginya.
Sesampainya di Banten, setelah mencari kesana kemari dengan penuh perjuangan, akhirnya sang ibu ia temukan. Namun, melihat kehidupan sang ibu dan adiknya yang kini mulai bersekolah, ia pun berpikir kembali untuk bisa mendapat pekerjaan demi sang ibu dan adik.
Eman kemudian merantau ke ibukota. Di tengah pencarian kerja yang tidaklah mudah, Eman bertemu dengan seseorang. Orang tersebut mengajaknya berbisnis dengan upah yang besar. Tentu saja Eman menerimanya.
Ternyata bisnis yang harus Eman kerjakan adalah menjual ganja. Walaupun ini adalah barang haram dan ilegal, Eman tetap menjalankan bisnis tersebut demi memenuhi kebutuhan ibu dan adiknya.
Sampai tiba-tiba ia ditangkap polisi dan mendekam di balik jeruji besi penjara. Tetapi tak lama kemudian, seseorang menebusnya agar ia bisa bebas. Ternyata orang tersebut adalah sang bandar narkoba yang ganjanya ia jualkan.
Setelah keluar dari sel penjara, Eman mulai menata hidupnya lagi. Ia ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Namun kehidupannya yang keras membuat wataknya pun keras. Semakin Eman beranjak remaja, watak kerasnya pun semakin melekat pada dirinya. Ia menjadi seorang pemberani bak preman yang ditakuti.
Sang ibu resah melihat perkembangan anaknya menjadi karakter sekeras itu. Setelah lama tinggal di Banten, sang ibu pun mengajak Eman berpindah kembali ke Garut. Sekeras apapun Eman, ia paling tidak bisa melawan atau membangkang pada perintah sang ibu.
Maka berpindahlah ia dengan ibu dan adiknya, kembali ke Garut. Eman pun mulai mencari jati diri. Ia mulai menyelami ilmu agama mulai dari berada di golongan NU, Persis, dan Muhammadiyah. Ia sering berpindah-pindah akidah dari satu ke yang lain lagi yang menurutnya ajarannya lebih benar.
Kini Eman telah menjadi seorang pemuda gagah sekaligus berani. Ia mencoba merantau ke kota Bandung untuk mencari pekerjaan. Tak disangka-sangka, di Bandung ia justru bertemu dengan seorang gadis yang ternyata berasal dari kampung tetangga di Garut. Tidak lama kemudian Eman menikahi gadis tersebut dengan segala kekurangannya. Dan dengan kebaikan hatinya sang gadis tersebut menerimanya.
Setelah menikah, tanggungan Eman bertambah. Ada ibu, adik, dan kini istri yang kehidupannya bergantung padanya. Atas dasar rasa tanggung jawab, ia pun kembali mencari pekerjaan lebih keras lagi.
Eman kembali merantau ke Bandung, tanpa tujuan, mencari pekerjaan. Tapi pekerjaan apa yang bisa ia dapat dengan segala kekurangannya? Ijazah SD pun tidak ia miliki. Eman pun merasa terlantar hidup di kota Bandung. Tapi ia tak berani pulang dengan tangan kosong.
Setelah 2 hari ia berada di Bandung, kesana kemari mencari pekerjaan yang tak jua ia dapatkan, sementara ongkos pun sudah tak ada, Eman terpaksa tidur di pinggir jalan. Ia tidur di pinggir jalan di alun-alun kota Bandung dengan beralaskan koran bekas. Keadaan itu ia terima dengan terus berharap kebahagiaan akan ia dapatkan kelak.
Malam yang terasa dingin mencekam ia rasakan saat tidur dengan hanya berbalut jaket dan beralaskan koran bekas. Tak terasa tibalah adzan Subuh berkumandang. Ia kemudian terbangun dan duduk termenung dengan pikiran bimbang. Kemana ia harus melangkahkan kakinya?
Ketika ia menengok ke sebelah tempat ia duduk, ia menemukan uang recehan sebesar 2 ribu rupiah. Ia pungut uang tersebut sambil membereskan koran bekas alas tidurnya. Ditariknya jaket, disimpannya di bahunya, lalu ia mulai melangkahkan kakinya.
Namun di tengah perjalanan ia berhenti karena desakan alam. Dilihatnya WC umum di seberang jalan di mana ia berada. Ia teringat akan uang receh yang ia pungut tadi. Ia bergumam, “Alhamdulillah ada uang untuk bayar masuk WC umum,” tanpa memikirkan perutnya yang sudah 2 hari tidak pernah terisi.
Masuklah Eman ke WC umum tersebut. Di atas toilet Eman kembali termenung dengan tatapan mengarah ke pintu toilet. Namun lamunannya terpecahkan kala Eman melihat sesuatu berwarna hitam di atas pintu WC itu.
Eman mencoba meraba bagian atas pintu WC itu. Ada sesuatu barbalut kresek berwarna hitam. Penasaran, diambillah bungkusan kresek tersebut dan dibuka. Ternyata isinya sebuah dompet. Eman membuka dompet tersebut dan mencari kartu identitas pemiliknya. Tapi tidak ada. Hanya ada uang sejumlah Rp.300.000 di dalamnya.
Eman sempat berpikir untuk menyebarkan informasi mengenai penemuan dompet tersebut. Tapi kemudian ia berpikir lagi, akan banyak orang yang mengaku-ngaku memiliki dompet itu. Bagaimana ia tahu yang mana pemilik asli dompet tersebut? Akhirnya Eman memutuskan untuk membawa dompet itu pulang ke Garut.
Sepanjang perjalanan ia terus bertanya-tanya, apakah ini rejeki dari Allah SWT.? Apakah ini rejeki untuk ibu dan istrinya? Benak Eman tak henti-hentinya diliputi tanda tanya, tetapi ia juga diliputi rasa syukur.
Sesampainya di rumahnya di Garut, Eman langsung menyodorkan uang tersebut kepada ibu dan istrinya. Sang istri tentu saja terkejut dan tak mau langsung menerima uang tersebut. Istrinya bertanya dari mana Eman mendapatkan uang ini, padahal ia belum mendapat pekerjaan.
Eman mengatakan bahwa ini adalah rejeki yang tak diduga. Ia menceritakan kronologis penemuan uang tersebut kepada ibu dan istrinya. Meski masih ragu, uang tersebut akhirnya diterima ibu dan istrinya dengan mengucapkan kalimat basmallah. Karena memang mereka membutuhkan.
Hampir seminggu Eman berada di rumah dan belum mencoba kembali mencari pekerjaan. Hatinya teringat pada paman yang selama ini sangat jarang ia temui, karena memang ikatan persaudaraan dengan pamannya tersebut tidaklah begitu baik.
Pamannya ini adalah adik dari ibunya. Wataknya keras dan tidak bisa berkata-kata lembut. Dalam istilah orang Sunda, pamannya ini ‘bedegog, goreng adat, haok gaplok.’
Pernah suatu hari Eman dan pamannya ini berselisih paham, kemudian cekcok sampai-sampai leher Eman dicekiknya. Jika ada hal yang tak sesuai dengan kehendaknya, pamannya ini seakan berani untuk memukul, bahkan dengan bedog di tangannya. Sejak kejadian itu Eman tak begitu dekat dengan pamannya. Tapi hatinya kini teringat pada pamannya dan ia tergerak untuk menemuinya.
Tibalah ia di depan rumah sang paman. Dengan langkah kaki yang ragu, ia mencoba mengetuk pintunya. Pamannya sendiri yang membukakan pintu itu dan mempersilakannya masuk.
Kemudian mereka pun bercengkrama cukup lama, mengobrol ngalor ngidul kesana kemari. Eman merasakan ada perubahan pada pamannya itu. Pamannya tak sekeras dulu, Eman pun merasa lebih nyaman berbincang dengan beliau.
Di tengah obrolan, pandangan Eman terpusat pada sebuah foto. Ia dekati foto tersebut dan diusapinya. Ia bertanya pada pamannya yang ia panggil Mamang, “Siapa ini, Mang?”
Pamannya menjawab, “Ia adalah Imam Mahdi as., Nabi Isa yang Dijanjikan dan pendiri Jemaat Ahmadiyah.”
Eman tertegun mendengar penjelasan pamannya. Kemudian ia berpamitan pulang pada pamannya. Dalam perjalanan pulang, hatinya masih membawa seribu tanya. Seseorang dalam foto tersebut sangat jelas pernah hadir dalam mimpinya.
Beberapa hari kemudian berlalu, Eman pun mencoba menemui temannya di Bandung sambil mencari pekerjaan. Teman Eman itu pun tahu kalau Eman banyak pengalaman dan ilmu agama karena sering berpindah-pindah aliran Islam, berbagai macam akidah pernah ia jalani. Tanpa diduga di tengah-tengah obrolan, temannya bertanya pada Eman. “Man, sudah dengar belum ada nabi baru yang berasal dari India? Seperti pemain film,” komentar teman Eman tersebut.
Eman pun menjawab komentar temannya itu dengan bergurau juga. “Kalau seperti pemain film, Amitha Bachan dong,” jawab Eman sambil tersenyum.
Eman menyudahi obrolan dengan temannya dan pamit pulang. Tapi tiba-tiba ia teringat kembali kepada pamannya, kok bisa berubah sedrastis itu. Ia teringat kembali bagaimana perangai pamannya dahulu, begitu berbeda dengan yang terakhir kali ia jumpai.
Kemudian ia juga teringat kembali dengan wajah yang ada dalam foto yang tergantung di dinding rumah pamannya itu. Ia merasa ada kaitannya dengan percakapannya dengan kawannya yang tadi tak begitu ia tanggapi serius. Apa itu yang dimaksud kawannya dengan nabi baru?
Hati Eman terus diliputi tanda tanya. Sesampainya di Garut, ia segera berkunjung ke rumah pamannya lagi. Kali ini, pamannya menjawab segala pertanyaan di benak Eman.
Pamannya menjelaskan mengenai ajaran Ahmadiyah. Pamannya juga memberikan Eman beberapa buku karya Masih Mau’ud as. dan menyuruh Eman mempelajarinya.
Eman pun mulai semangat belajar mengenai Ahmadiyah. Ia begitu penasaran dengan perubahan sang paman yang sedemikian hebatnya. Ada apa dengan ajaran Ahmadiyah?
Waktu terus berlalu, hari demi hari terlewati. Eman terus membaca dan mempelajari buku-buku Ahmadiyah yang diberikan oleh pamannya. Ia juga begitu bersemangat bertabligh dan tanpa ragu menyebarkan ajaran Ahmadiyah, meski ia sendiri belum baiat kala itu.
Eman bertabligh, mendatangi teman-temannya meski banyak tantangan. Tak semuanya bisa menerima dan memahami apa yang ia sampaikan. Tapi Eman tak mau berhenti. Pula, tak ada yang dapat mengalakan pemahaman yang disampaikannya mengenai Ahmadiyah.
Sampai-sampai ada temannya yang berkata, “Jangan menyampaikan ajaran itu di sini! Sebab tidak akan ada ujungnya kalau kamu bicara. Setiap saya jawab maka akan ada jawaban lain dari kamu menyangkut Ahmadiyah.” Akhirnya Eman pun memantapkan hatinya pada ajaran Ahmadiyah, dan berbaiat.
Sesudah ia baiat, Eman menerima banyak penentangan dari pihak keluarga sang istri. Fitnah-fitnah ditujukan kepada Eman. Sampai-sampai, sang istri yang Eman cintai dijemput paksa oleh ayah mertuanya karena tidak setuju dengan keputusan Eman berbaiat.
Ditambah lagi dengan status Eman yang masih pengangguran, mertuanya semakin tidak puas melihat Eman yang terus saja mempelajari dan memegang buku-buku Jemaat. Mertuanya berkata, “Memang nya anak saya bisa dikasih makan buku!” Eman pun tak bisa menjawab, ia hanya pasrah pada keadaan. Ia memang pengangguran dan tujuannya saat ini hanya mendalami ajaran Ahmadiyah.
Tapi ia tak menghiraukan apa yang dikatakan oleh mertuanya supaya Eman menceraikan istrinya. Dengan nada pasrah, Eman hanya melontarkan satu pertanyaan kepada sang istri yang dipaksa meninggalkannya. Eman bertanya kepada istrinya, apakah dia mau ikut pulang dengan Eman?
Jawaban sang istri begitu mengejutkan. Sang istri menjawab, “Saya seorang istri. Sudah menjadi kewajiban saya untuk mematuhi dan menemani suami saya dalam keadaan apapun. Dan suamilah yang seharusnya istri percaya, maka saya akan ikut pulang dengan suami dan saya tidak ingin berpisah.”
Eman akhirnya bisa membawa pulang kembali sang istri ke rumah reyotnya dan tak lama kemudian, sang istri pun berbaiat.
Eman dengan keteguhan hatinya memutuskan akan bekerja keras. Ia ingin membuktikan kepada keluarga sang istri bahwa ia berada di jalan yang benar dengan masuk ke Jemaat Ahmadiyah. Dan Eman juga ingin membuktikan bahwa ia bisa membahagiakan dan memenuhi kebutuhan dan keinginan sang istri.
Beberapa tahun kemudian dengan proses yang panjang dan luar biasa, akhirnya Eman sampai pada posisi di mana ia merasa dapat mengangkat harkat dan derajat keluarganya. Alhamdulillah dia bisa membuka perusahaan sendiri. Pintu rezeki terbuka lebar untuknya. Eman bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya, istri dan anaknya. Apalagi setelah adik perempuannya berumah tangga, tanggung jawabnya serasa sudah terpenuhi sebagai kakak.
Eman dikaruniai 4 orang anak laki-laki. Ia membesarkan mereka dengan rasa tanggung jawab yang tinggi yang juga berusaha ia tanamkan kepada anak-anaknya. Eman mengajarkan anak-anaknya supaya dapat melanjutkan perusahaannya kelak. Dan sebagai seorang bapak, ia pun menanamkan keyakinan yang kokoh supaya anak-anaknya menjadi seorang Ahmadi yang berpegang teguh pada keimanan dan ketauhidan.
Kini anak-anak beliau sudah berumahtangga dan menjadi pengurus cabang dan majelis. Masya Allah. Dan beliau membaiatkan 2 orang yang menjadi menantunya pula, berkat tablighnya. Alhamdulillah.
.
.
.
editor: Lisa Aviatun Nahar
Visits: 46
Masya Allah.. Cerita yang cukup menguras air mata sangat banyak pagi ini.. Mubarak pa Eman dan keluarga.. Kisah kehidupan jasmani rohani yang turun naik memainkan emosi..