SEBUAH NERAKA DALAM SURGA
Apa jadinya, ketika seorang perantauan dari Ibukota pulang ke kampung halaman di tengah wabah? Sesuai aturan dan sebagai langkah antisipasi harus di karantina selama dua minggu.
Padahal, bayang-bayang anak dan istri tersenyum menyambutnya selalu ternyiang sejak duduk di atas bus antar provinsi. Perasaan lega ketika roda bus berputar meninggalkan daerah pandemi covid-19 serasa mengisi rongga dada.
Sayangnya. Apa yang diharapkan tak sesuai dengan kenyataan.
Ketika turun dari bus. Saat udara dingin dari kaki gunung Ciremei masuk ke rongga hidung. Kaki mulai menapaki jalan-jalan yang penuh kenangan. Sampai di balai desa, harus melewati sterilisasi standar. Disemprot disinfektan seolah-olah setiap jengkal tubuh bersarang virus mematikan.
Apa sampai disitu?
Rupanya tidak. Ia harus menjalani proses karantina selama 14 hari. Boro-boro bisa meluapkan rasa rindu kepada sang buah hati yang sedang lucu-lucunya.
Boro-boro juga bisa bercengkerama romantis dengan istri tercinta. Berharap bisa curhat sejadi-jadinya tentang beratnya kehidupan di Ibukota.
Empat belas hari bisa menjadi sebuah neraka dalam surga. Seolah-olah, ia berada dalam surga tapi yang ia rasakan adalah neraka.
Tapi tak apalah, pikirnya. Cuma empat belas hari doang kok. Ini juga demi mereka yang ia cintai. Juga demi keselamatan satu desa.
Suatu kali rasa rindu yang begitu sendu menyerang dirinya. Ia sampaikan kepada istri mau ke rumah. Mau bertemunya dan anak-anak.
Ia tahu, betapa perihnya hidup tanpa bisa memeluk sang buah hati, bercengkerama dengannya, mendengarkannya berceloteh, menyaksikan tawa kebahagiannya. Tapi ia tahu juga bahwa ia harus tunduk kepada aturan yang ada.
Maka bertemulah mereka di depan rumah. Gerbang tetap tertutup. Sang ayah berada di luar. Istri dan anaknya di beranda. Sang ayah menyampaikan pesan terdalamnya kepada sang istri dalam diam dengan satu tatapan yang penuh arti.
Tiba-tiba anaknya yang baru berumur lima tahun bertanya, “Bapa kenapa gak masuk?”
“Ga, bapa di luar aja,” jawab sang ayah lembut.
“Kenapa?” tanya si anak penasaran.
“Bapak malu,” jawabnya singkat sambil kebingungan.
“Kan bapa pakai celana, kok malu?” seloroh si kecil yang makin membuat sang ayah bingung dan makin diliputi rasa rindu yang menggebu.
“Udah dulu yah.. bapa pergi dulu,” sang ayah pada akhirnya berlalu. Sambil membawa segaris keperihan yang menganga di sekujur batinnya.
Tiap hari sang istri membawakan makanan dan pakaian. Menyampaikan sebuah pesan romantis kepada suaminya untuk tetap bersabar melewati masa karantina ini.
Tentu saja badai pasti berlalu.
Tentu saja hari tak selamanya malam.
Pada akhirnya, masa-masa sulit di kala wabah akan berakhir. Tuhan cuma meminta kita untuk sabar menunggu. Dan di tengah masa-masa itu, ada waktu untuk merenung, ada waktu untuk mengevaluasi diri kita. Hingga ketika wabah telah berlalu, kita pun lahir sebagai manusia yang kembali kepada fitrahnya.
Visits: 39
Assalamualikum
Kisah yang menarik…
bagi yang berminat silahkan kunjungi bewaramulia.com
https://bewaramulia.com/
sama rindu kampung tp apa daya