SEPATU SANG KHALIFAH
Siapa yang menyangka, Jalsah Salanah tahun 2000 menjadi pengalaman terdahsyat bagi saya dan keluarga. Tidak selesai untuk diri saya, perjalanan rohani ini bahkan disusul dengan keajaiban yang lain juga. Bertemu dengan tamu agung Hazrat Khalifatul Masih Ar-Rabi, menjadi pengalaman indah yang terus tinggal dan menetap di hati.
Tidak seberuntung keluarga lainnya, saya tidak mendapatkan kesempatan untuk bermulaqat atau foto bersama Huzur kala itu. Tapi keinginan untuk berjumpa dengan Sang Khalifah benar-benar membuncah di dalam dada anak SMA ini waktu itu, meskipun hanya untuk beberapa detik saja. Beberapa waktu setelah pengumuman kelulusan, saya berangkat seorang diri dari Lampung ke Cilegon.
Ingin hati berangkat bersama seluruh anggota keluarga, namun apa daya, kendala biaya harus membuat kami tak bisa berangkat semuanya. Dari Cilegon, saya dan keluarga paman berangkat ke Parung, Bogor. Di sanalah lokasi Jalsah Salanah diselenggarakan tahun ini. Jalsah yang istimewa, karena Khalifah Jemaat ini turut hadir di sana.
Sore itu, di Markaz Parung sebelum pembukaan acara Jalsah, saya sejenak bercengkerama dengan sepupu saya yang masih berusia tiga tahun. Sembari melihat-lihat sekeliling Markaz, kami menikmati sore bersama angin yang berdesir menambah kesejukan. Sampai kira-kira di depan rumah Bapak Raisuttabligh, saya melihat serombongan orang yang berjalan dengan cepat dari arah Jalsah Gah. Langkahnya panjang-panjang, tegap, dan sangat gagah. Pandangan mata ini pun terkunci pada sosok yang, entah mengapa hanya bisa membuatku ternganga tanpa bisa berkata-kata. Huzur…,ya, betul! Itu Huzur!
Huzur bersama para pengawal dan panitia Jalsah berjalan menuju ke arah saya. Rupanya beliau hendak melakukan inspeksi kesiapan pelaksanaan Jalsah, seperti yang biasa Huzur lakukan pada acara-acara yang beliau hadiri. Betapa rendah hatinya Huzur. Bukan layaknya pejabat teras yang hanya bisa memerintah dan tahu beres ketika berkegiatan, namun Huzur sang pemimpin internasional, mau turun langsung memeriksa keadaan.
Saya pun menepi karena posisi jalan yang lebih tinggi tidak bisa membuat saya menjauh. Saya hanya terdiam, masih di pinggir jalan di depan rumah-rumah para mubalig, rombongan Huzur lewat di depan saya. Tangan ini bergetar, tanpa terasa air mata tumpah tanpa perintah. Sekuat tenaga saya menangkupkan kedua telapak tangan saya di dada, “Assalamualaikum Huzur .” Huzur pun menoleh, tersenyum, dan mengangkat tangannya serta membalas salam saya. Semakin lemas lutut ini tak kuasa menahan gelora bahagianya hati.
Ketika saya menoleh sejenak ke belakang, ternyata juga banyak ibu berkumpul di teras rumah mubaligh, sekadar ingin melihat Huzur, menyapa beliau, dan entah mengapa, dengan tumpahan air mata yang sama derasnya. Saya tidak bisa bergerak, kaku, tubuh saya gemetar. Hanya air mata yang terus mengalir, begitu terharu, tak menyangka dapat melihat Huzur dari dekat. Begitu pun dengan sepupu saya yang terpaku dan tak mengalihkan pandangannya satu senti pun dari Huzur.
Bergegas saya berlari ke penginapan, menemui pama, bibi dan keluarga yang lain. Di sepanjang jalan menuju penginapan sembari berlari, sepupu kecil saya ini terus saja berteriak kegirangan, “Adik ketemu Huzur… Adik ketemu Huzur….” Sampai-sampai ibunya pun kaget, “Apa, Dik? Adik ketemu Huzur? Dimana? MasyaAllah!”
Karunia ini demikian besar untuk saya, seorang siswa yang terkadang masih lebih mementingkan kegiatan di sekolah ketimbang aktif di masjid. Sekadar untuk shalat Jumat saja, masih tertinggal karena banyaknya ekstrakurikuler sekolah yang saya ikuti waktu itu.
Setelah Jalsah di Parung, saya mendengar Huzur akan melanjutkan agenda mulaqat di Padang. Sehingga anggota di Sumatera bisa mulaqat dengan Huzur di masjid Mubarak Padang.
Yang yang tidak mendapat kesempatan mulaqat di Parung menyampaikan kepada saya bahwa beliau ingin sekali mulaqat dengan Huzur di Padang. Tapi bagaimana caranya? Karena, tetap saja ada biaya yang harus kami pikirkan jalan keluarnya. Ayah pun sama, hanya bisa berdoa dan terus berdoa, benar-benar berharap datangnya keajaiban yang bisa membawanya bertemu Kang Khalifah tercinta.
Tidak ada karunia seindah yang Allah limpahkan. Rombongan Jemaat dari Lampung rupanya menunjuk ayah sebagai amir perjalanan menuju Padang. Sehingga ayah tidak dibebani biaya. Betapa terharunya ayah, ketika kekuatan doa membongkar semua penghalang di tengah perjalanannya bertemu Huzur.
Tak selesai hanya berjumpa sesaat seperti yang saya alami di Markaz, karena di Padang, ayah berkesempatan bertemu langsung, bermulaqat, dan berfoto bersama Huzur. Saya melihat fotonya, tampak Huzur menggenggam tangan ayah dengan erat. Bapak Mubaligh Wilayah dan Ketua DPW Lampung yang menyampaikan bahwa ayah adalah Da’iIlallah yang aktif, dan banyak mendapat Mubayyin Baru.
Indahnya lagi, ayah bahkan membawakan sepatu Huzur. Entah kenapa, waktu itu tak seorang pun yang melarang ayah untuk berjarak sangat dekat dengan Huzur, menenteng sepatu Huzur setelah selesai mulaqat sampai kembali ke penginapan beliau. Padahal ada banyak sekali pengawal dan panitia di sana. Ayah sejenak berkelakar, “Mungkin wajah ayah mirip orang India, jadi disangka pengawal Huzur.” Renyah sekali tawa ayah terdengar ketika mengulang cerita itu. Sembari ayah bercerita, saya pun mencium tangan ayah, meletakkannya di kepala saya dan berkata, “Semoga Keberkatan dari Huzur tetap ada untuk Saya dalam tangan yang pernah di genggam oleh Huzur tercinta.”
Masya Allah. Allah telah mengabulkan doa-doa kami sehingga bisa bertatap muka dengan Huzur. Salah satu cita-cita ayah yang akhirnya tercapai, selain dari keinginannya yang lain, untuk bisa bermulaqat dengan Huzur di London, menghadiri Jalsah Qadian, bertemu dengan keluarga Kakek di Kerala-India, dan juga beribadah umrah. Semua keinginan itu, terkendala karena masalah biaya. Hingga akhirnya ayah pergi menghadap Allah, setahun setelah Huzur Arrabi wafat. Namun kami yakin, kekuatan doa kelak akan bisa menyempurnakan cita-cita ayah semasa hidupnya, melalui anak-cucu keturunannya.
.
.
.
editor: Rahma A. Roshadi
Visits: 62
Masya Allah, Masya Allah
Subhanallah