
Sombong Bukan Sifat Manusia
Tidak dipungkiri bahwa semasa kita hidup ada sistem level yang jarang disadari. Contohnya level individu dalam hal finansial, kita sering melihat orang-orang yang memiliki level finansial dari yang baik, sedang, bahkan buruk. Lalu ada aspek pendidikan, ada yang memiliki level pendidikan tinggi, sedang, hingga rendah. Begitu juga aspek-aspek lain seperti spritual sampai pengalaman.
Namun sangat disayangkan pelevelan ini biasanya mempengaruhi kita dalam melihat dan bersikap kepada yang lain. Kepada mereka yang dianggap ada di bawah level kita maka akan muncul perasaan sombong atau takabur. Kita merasa diri kita lebih baik hingga menilai orang lain rendah dan tidak berhak bergaul bersama kita. Tentunya hal ini adalah hal yang tidak diajarkan di dalam Islam, bahkan hal yang sangat dihindari.
Seperti yang kita tahu bahwa setan sebelumnya merupakan ahli ibadah namun ia harus terlempar ke dunia disebabkan rasa sombong yang dimilikinya. Setan menolak Nabi Adam As. sebagai makluk lebih sempurna karena merasa bahwa diri merekalah yang lebih baik. Namun justru karena kesombongannya itu menjadikan setan sebagai makhluk yang sangat buruk.
“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Aku lebih baik dari dia (Adam), Engkau menciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Itulah sebabnya mengapa Islam sangat melarang sikap sombong, karena sikap sombong tidak membawa kita ke mana-mana selain kejatuhan. Dengan sikap sombong kita dibuat tidak bisa melihat diri kita dengan kacamata spiritual, dan itulah awal dari kejatuhan di mana diri ini mulai tidak bisa merasakan batas-batas yang agama buat.
Untuk memenuhi hasrat kesombongan, maka kita akan membenarkan segala cara, tentu saja hal seperti itu sangatlah dihindari bagi seorang Muslim. Memang dasarnya rasa sombong tidak bertempat pada diri manusia, karena segala keterbatasan masih kita miliki. Kita saja tidak memiliki kuasa atas diri ini, kita tidak dapat mengetahui kapan kemalangan menghampiri bahkan kita tidak dapat menolaknya. Sehingga manusia harus menyadari bahwa segala rasa keagungan hanyanyalah milik Allah Swt.
Sebagai seorang hamba, sepatutnya kita mengarahkan segala kelebihan dalam diri kita untuk menjadi manfaat bagi orang lain. Alih-alih melihat dan menilai kita lebih baik daripada orang lain, akan lebih baik jika pikiran ini digunakan untuk menilai nilai baik mana yang harus terus diamalkan dan nilai buruk mana yang harus diperbaiki, hingga pada akhirnya kita tidak akan dibutakan oleh perasaan kita sendiri.
Tinggi rendahnya kedudukan seseorang bukanlah dinilai dari aspek lahiriah, namun bagaimana ia bisa bersikap kepada sesama. Sebagaimana Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Manusia yang paling tinggi kedudukannya adalah mereka yang tidak melihat kedudukan dirinya, dan manusia yang memiliki kelebihan adalah mereka yang tidak melihat kelebihan dirinya.”
Views: 148