Terlepas dari Nizam Khilafat karena Pernikahan

Sejatinya pencapaian sesuatu di dunia takkan abadi. Kebanggaan terhadap sesuatu di dunia tak lantas membuat hati tenang. Pelajaran berharga ini harus aku dan keluargaku dapatkan dari sebuah tragedi dalam hidup kami. Ironisnya tragedi ini justru lahir dari sebuah peristiwa yang seharusnya membahagiakan, pernikahan.

Keluargaku adalah Ahmadi keturunan, baik dari sisi ayah maupun ibu. Aku adalah sulung dari tiga bersaudara, kemudian disusul si tengah adik perempuanku, dan si bungsu adik laki-lakiku.

Sejak kecil kami dididik orangtua untuk mencintai Jemaat. Kami senantiasa diikutsertakan dalam berbagai kegiatan Jemaat, sehingga kami tumbuh dengan rutinitas sebagai anggota Jemaat yang aktif.

Kehidupan duniawi keluarga kami alhamdulillah bisa dikatakan sangat cukup, sampai aku dan adikku bisa mengenyam pendidikan hingga ke tingkat sarjana. Ayah dan ibuku juga merupakan anggota Ahmadi yang cukup disegani di cabang kami.

Singkat cerita, kami bertiga beranjak dewasa. Aku dan adik perempuanku hanya terpaut usia 1 tahun, kami sangat dekat. Jika kami jalan berdua, orang pasti bisa menebak kami adik dan kakak karena kemiripan kami.

Namun semuanya terasa berbeda saat aku harus tinggal jauh dari keluargaku di kota lain untuk meneruskan pendidikanku. Lain halnya dengan adik perempuanku, dia tinggal dan meneruskan pendidikan di kota kelahiran kami.

Komunikasi aku dan adikku sedikit terhambat. Biasanya kami sebelum tidur sering curhat, tapi jarak seolah menjauhkan aku dengan adik perempuanku. Jangan ditanya soal handphone, barang langka saat itu. Harganya juga selangit. Untuk sekedar membeli nomor HP saja tidak segampang sekarang yang bagaikan membeli kacang goreng. Komunikasi aku dan adikku pun agak berkurang.

Aku lebih dulu menamatkan sarjanaku, adikku setahun kemudian. Alhamdulillah dia berkesempatan melanjutkan S2-nya ke negeri tetangga melalui jalur beasiswa full. Sebuah kebanggaan bagi keluarga kami. Hampir semua anggota Jemaat di cabang kami saat itu kagum pada keluarga kami.

Ada rasa bangga ayahku terhadap kedua putrinya bisa menamatkan sarjana. Apalagi ditambah dengan beasiswa yang adikku dapatkan. Orangtuaku mengizinkan adikku untuk melanjutkan S2-nya di negeri tetangga saat itu. Adikku akhirnya melanjutkan mimpinya, menjadi seorang ilmuwan. Alhamdulillah.

Satu setengah tahun berlalu, kabar selalu kami dapatkan. Komunikasi alhamdulillah lancar lewat SMS saat itu. Namun tiba-tiba saja kabar datang, adikku punya teman dekat seorang laki-laki non-Ahmadi. Mereka serius menjalin hubungan dan ingin menikah.

Bagai petir di siang bolong, tak ada awan hitam menggelayuti langit sedikitpun. Petir itu seolah meruntuhkan rasa bangga ayahku terhadap adikku.

Bagaimana bisa seorang Lajnah yang aktif di berbagai kegiatan bisa mempunyai pikiran untuk menikah dengan lelaki non-Ahmadi? Ya Allah, cobaankah yang Kau berikan untuk keluargaku?

Berbagai cara kami lakukan agar adikku tidak melanjutkan hubungannya dengan lelaki non-Ahmadi itu.

Kami menasehatinya lewat telepon karena adikku masih di negeri tetangga. Kami juga mendatangi keluarga laki-laki itu dan menjelaskan bahwa kami Ahmadiyah dan tidak mengizinkan seorang perempuan Ahmadi menikah dengan lelaki non-Ahmadi.

Tak lupa kami juga senantiasa menulis surat ke Huzur. Hingga ayahku mendatangi Bapak Amir Nasional (gelar untuk Pemimpin Nasional Jemaat Ahmadiyah) untuk meminta saran beliau tentang keinginan adikku menikah.

Jawaban Pak Amir hanya satu, “Jangan nikahkan anak perempuanmu dengan non-Ahmadi!” Begitupun dengan balasan surat dari Huzur.

Ayahku seorang Nazim Wilayah saat itu, taatlah beliau pada pimpinan, tak memberikan izin kepada adikku untuk menikah. Bulat keputusan ayahku, walau harus kehilangan putrinya asal jangan menggadaikan keimanan yang sejak kecil beliau anut.

Tiba-tiba di tahun 2007, di bulan ramadhan saat itu. Kami baru saja sampai di rumah setelah melaksanakan sholat Tarawih. Ayahku menerima kabar bahwa adikku sudah menikah dengan laki-laki pilihannya.

Perih kami rasakan, inikah buah perjuangan yang orangtuaku terima? Mendidik adik perempuanku, kerja keras membanting tulang menyekolahkan putrinya hingga ke tingkat sarjana, tapi berbalas lepasnya adikku dari genggaman Nizam Khilafat.

Sedih kami rasakan, jika mengingat hari itu, rasanya aku ingin selalu menangis. Ibuku sampai jatuh sakit, tak kuat menerima kenyataan putrinya menikah dengan non-Ahmadi.

Yang tersisa kini hanya aku dan adik laki-lakiku, Orangtuaku selalu berdoa agar kami berdua mendapatkan jodoh seorang Ahmadi. Alhamdulillah saat itu aku juga sudah dipinang oleh seorang mubaligh, rencananya seIepas Idul Fitri kami melaksanakan pernikahan.

Mungkin itu obat untuk kedua orangtuaku. Di satu sisi kehilangan putri tapi di sisi lain mendapatkan ganti putra seorang mubaligh.

Akhirnya ibuku ikhlas dengan jalan kehidupan keluarga kami, namun beliau selalu berdoa di sepertiga malamnya agar suatu saat nanti adikku bisa kembali bergabung kedalam bahtera Imam Mahdi.

Ayahku pun mencoba berdamai dengan keadaan, walau sangat tidak mudah. Kebanggaan beliau terhadap putrinya yang mendapatkan beasiswa, hilang sudah. Ternyata kebanggaan beliau harus hilang dengan lepasnya adikku dari Nizam Khilafat.

Butuh waktu yang lama untuk kami kembali bangkit, mencoba berdamai dengan keadaan. Hingga beliau akhirnya terganggu kesehatannya, usia juga yang tak memungkinkan ayahku menjadi pengurus aktif di daerah kami tinggal.

Bersyukur aku menikah dengan mubaligh dan selama 10 tahun kami bertugas dekat dengan keluargaku. Adik laki-lakiku juga menikah dengan seorang Lajnah. Luka itu pun perlahan mulai sembuh.

Kuncinya adalah menyerahkan semua kepada Allah SWT. Karena hanya keikhlasan dan kesabaran yang mampu membangkitkan keluargaku dari keterpurukan.

Sebuah pelajaran berharga untuk keluargaku. Sebagai Ahmadi, jangan pernah kita menjauh dari lingkungan Jemaat di manapun kita tinggal. Adikku lepas dari genggaman Nizam Khilafat karena dia jauh dari lingkungan Jemaat. Selama 1,5 tahun jauh dari keluarga, dia tidak pernah mengikuti kegiatan Jemaat di negeri tetangga, itulah penyebabnya.

Kisah sedih yang menimpa keluargaku ini selalu kuceritakan kepada Lajnah yang belum menikah, juga kepada orangtua yang mengalami kejadian serupa dengan keluargaku. Tujuanku, jangan sampai mereka menyesal nantinya.

Tak henti-hentinya kami berdoa agar suatu saat nanti adikku bisa kembali ke pangkuan Nizam Khilafat, kembali berada satu bahtera bersama kami. Merasakan kembali nikmatnya kebersamaan melaksanakan semua kegiatan Jemaat bersama-sama. Hingga kini 13 tahun sudah kejadian itu berlalu, harapan tak pernah hilang dari keluargaku. Doa selalu kami panjatkan. Kami juga senantiasa berkirim surat ke Huzur, memohon doa agar suatu hari nanti adikku kembali kepada Nizam Jemaat. Entah kapan doa itu akan terwujud. Sebuah harapan yang tak akan pernah hilang.

.

.

.

editor: Lisa Aviatun Nahar

Visits: 97

Meilita Hikmawati

1 thought on “Terlepas dari Nizam Khilafat karena Pernikahan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *