Tetap Pertahankan Iman Meski Nyawa Taruhannya

Kisah berikut ini menceritakan tentang seorang Ahmadi awalin di Jemaat Cibatu, Garut yang bernama Abah Endang Jarkasih. Perjalanan kerohaniannya sebagai seorang Ahmadi pernah dihadapkan pada situasi antara hidup dan mati karena tetap mempertahankan keimanannya.

Kisah ini berawal pada tahun 1980. Di kampung dimana Abah Endang tinggal, ada seorang Ahmadi awalin bernama Abah Iri Saftari. Abah Iri mengenal Ahmadiyah dari saudaranya yang bernam Bapak Ahem. Beliau belajar tentang Ahmadiyah hingga akhirnya baiat.

Dengan semangat baru menemukan kebenaran, Abah Iri pun bertabligh di kampung. Tentu, penentangan mulai berdatangan dan mulai sengit. Tapi di balik semua itu, ada lima orang yang tertarik mempelajari tentang ajaran Ahmadiyah.

Abah Endang Jarkasih saat itu masih kecil. Ayahnya merupakan salah seorang dari kelima warga yang sedang mempelajari Ahmadiyah itu.

Kegiatan sang ayah membuat sang istri (ibu Abah Endang) khawatir sekaligus curiga. Sebab, sang suami kadang mengadakan satu perkumpulan di salah satu rumah. Kadang pergi berhari-hari kemana tanpa memberitahukan kemana arah dan tujuannya (sedang ikut Jalsah Salanah).

Sang istri memang khawatir, kalau-kalau suaminya melakukan hal yang tidak baik. Tapi disisi lain, ia pun tengah dibingungkan dengan perubahan yang terjadi dalam diri sang suami. Sifat suaminya yang kasar dan suka marah, bahkan suka memukul, kini hilang sirna. Apa yang terjadi pada suaminya?

Akhirnya, sang istri menyuruh Abah Endang untuk mengikuti sang ayah tanpa sepengetahuannya. Saat itu sang ayah mengadakan pertemuan dengan Abah Iri dan empat orang lainnya di sebuah rumah panggung kayu.

Masuklah Abah Endah ke kolong rumah tersebut. Ia langgung menguping pembicaraan mereka. Rupanya, yang diobrolkan adalah seputar keagamaan. Dijelaskan soal Imam Mahdi dan sosok Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.

Abah Endang pun melaporkan ke sang ibu. Bahwa sang ayah bukanlah orang tidak benar yang ikut-ikutan gerombolan orang jahat.

Suatu kali, Abah Endang menemukan sebuah buku milik sang ayah. Karena takut sang ayah marah, buku tersebut disembunyikan. Setiap kali ia pergi ke kebun untuk cari rumput, dibacalah buku tersebut. Terus saja ia lakukan hal seperti itu hingga habis bacaannya.

Ketika buku tersebut habis dibacanya, Abah Endang pulang dan menghampiri sang ibu lalu berkata, “Ibu jangan khawatir apa yang dilakukan oleh bapak. Agamalah yang sedang menyibukkan bapak. Bapak tidak salah jalan. Bapak sedang mempelajari dan mendalami ilmu agama. Jangan dilarang, lihatlah perubahan dalam diri bapak sekarang.

Jalsah Salanah kembali diadakan. Bertempat di Manislor, Kuningan. Sang ayah ikut bersama Abah Iri dan keempat orang lainnya. Rupanya, keberangkatan ke Manislor harus melalui Garut dulu supaya ikut rombongan. Tapi, di Garutlah mereka mendapat hidayah yang pada akhirnya kelima orang tersebut baiat.

Kepulangan mereka ke kampung rupanya disambut dengan kabar bahwa orang-orang ini telah masuk organisasi Ahmadiyah. Tersebarlah desas-desus bahwa dajjal telah datang ke kampung.

Sementara itu. Abah Endang sedang bekerja di Cimahi berjualan es. Ia pun mencari tahu keberadaan masjid Jemaat di Cimahi karena tertarik untuk mempelajari ajaran Ahmadiyah.

Tahun 1982, Abah Endang menemukan masjid Ahmadiyah di Cimahi. Ia bertemu dengan bapak Syarif dan mendapat banyak pengajaran tentang agama juga tentang Ahmadiyah.

Suatu hari, di masjid Cimahi ada acara peresmian Masjid Basyarat di Spanyol. Abah Endang diundang hadir. Kegiatan tersebut berlangsung selama tiga hari. Selesai acara, tepatnya pada hari Jumat. Abah Endang mantap untuk berbaiat dengan segala keyakinan hatinya tentang kebenaran ajaran Ahmadiyah.

Usai kembali ke kampung halaman. Abah Endang bersama Abah Iri dan Pak Mamat (almarhum) mulai mengembangkan Jemaat disana meski saat itu masih ranting.

Di bawah kepemimpinan Abah Iri, para anggota Jemaat sibuk dengan kegiatan ibadah, memperdalam ilmu agama dengan pengajian-pengajian.

Pusat kegiatan saat itu masih di rumah anggota. Seiring dengan berjalannya waktu, tempat tersebut terasa makin sempit dengan bertambahnya jumlah anggota. Hingga akhirnya, terpikirlah untuk membangun sebuah masjid untuk mengakomodasi kegiatan-kegiatan keagamaan.

Seibarat pohon yang makin menjulang tinggi, maka makin kencang pula angin yang menerjang. Itulah yang mulai dirasakan oleh para anggota Jemaat Cibatu.

Para penentang rupanya tak pernah diam. Mereka selalu mengintai dalam setiap ibadah. Olok-olok sudah menjadi makanan harian. Bahkan, mereka mulai berani menebar ancaman.

Abah Endang merasa sang ayah mulai goyah keimanannya saat ancaman datang. Abah sempat berkata kepada sang ayah, “Bapak jangan takut akan ancaman orang. Kita bertawakal saja kepada Allah. Kita tetap melaksanakan ibadah semestinya. Jika pun sampai ada penyiksaan, biar saya yang disiksa. Saya akan melindungi bapak, tapi bapak jangan menjauh.”

Musyawarah mulai dilakukan untuk mencari solusi supaya dapat mendirikan masjid. Akhirnya, dua orang anggota mewakafkan sebidah tanah mereka untuk dijadikan masjid. Anggota yang lain juga mulai memikirkan soal material dan tenaga yang bisa mereka khidmatkan demi berdirinya sebuah masjid.

Bangunan masjid baru jadi 50 persen. Segelintir orang yang memang tidak suka dengan keberadaan Jemaat melaporkannya ke Koramil dengan sebuah narasi “meresahkan warga”.

Menindaklanjuti laporan warga tersebut, akhirnya pihak Ahmadiyah diberikan surat panggilan untuk datang ke kantor Koramil.

8 Mei 1983, lima orang anggota Jemaat yakni Abah Iri, Abah Endang, Pak Mamat, Pak Didi dan Pak Ion (ayah Abah Endang) akhirnya memenuhi panggilan Dandramil dengan berjalan kaki menyusuri rel kereta sejauh 10 kilometer. Mereka butuh waktu 2 jam untuk sampai ke lokasi.

Abah Iri, Abah Endang dan Pak Mamat diperiksa di ruang yang berbeda dan orang yang berbeda. Sementara Pak Didi dan Pak Ion menunggu di ruang tunggu.

Abah Endang langsung disodori surat pernyataan keluar dari Jemaat Ahmadiyah yang harus ditandatangani. Abah Endang tentu saja menolak dan tetap teguh pada keyakinannya.

Melihat Abah Endang tak kooperatif, petugas langsung menggebrak meja dan terus menekan Abah. Bahkan Abah diancam akan disiksa jika tidak mau menandatangani. Dimana dalam ruangan tersebut sudah disediakan kayu untuk memukul.

Di ruangan sebelah, terdengar suara keras kepada Abah Iri dan Pak Mamat. Si petugas kembali menekan, “Apa susahnya tinggal tanda tangan dan tidak aka nada pertanyaan lagi dan tinggal keluar dari Ahmadiyah.”

Abah Endang seketika berkata, “Bukan saya yang masuk Ahmadiyah, namun karunia Allah Ta’ala lah, Ahmadiyah masuk ke dalam diri saya. Lalu bagaimana saya bisa melepaskannya? Dan bagaimana cara melepaskannya jika sudah menyatu dengan diri saya?”

Si petugas mulai kesal, akhirnya mengambil kayu lalu dihantamlah sekuat tenaga kepala Abah Endang berkali-kali. Namun, Abah Endang tetap mempertahankan keyakinannya.

Darah segar mulai mengalir dari kepalanya. Surat pernyataan tersebut kembali disodorkan. Namun Abah Endang bergeming bak karang yang dihantam ombak besar.

Melihat Abah yang makin keras kepala, si petugas mengangkat meja, lalu kaki meja tersebut ditindih di atas kaki Abah. Si petugas naik ke atas meja sambil lompat-lompat.

Abah Endang meraung kesakitan. Meja tersebut tergeser yang ikut menarik juga kuku jempol Abah. Pekik kesakitan menggema ke seisi koramil.

Meski darah sudah berceceran disana sini, tapi si petugas belum juga puas. Ia masih melayangkan pukulan tangan ke Abah. Bahkan makin brutal pada pipi dan dagu abah. Namun, Allah masih memberi kekuatan dan perlindungan kepada Abah. Dua jam berlalu dan Abah masih bertahan.

Merasa usahanya tak membuahkan hasil, si petugas memanggil petugas yang lain untuk membawa Abah ke sebuah ruangan sambil moncong senapan ditodongkan ke punggung Abah.

Ruangannya gelap dan sempit. Kotoran ada dimana-mana. Hampir tidak ada udara dalam ruangan tersebut. Bercak darah menghiasi tembok. Entah, apakah ini ruangan eksekusi? Tapi, mulut Abah tak pernah kering dari doa, memohon pertolongan Allah Ta’ala.

Makin lama di dalam, Abah merasakan sesak nafas karena mungkin tak ada udara yang masuk. Di bagian atas tembok terlihat kaca kecil dimana ada celah sedikit di atasnya.

Abah mencoba meraih celah tersebut dengan bertumpu pada sebuah kayu yang panjangnya kira-kira 1 meter. Tangannya menahan dinding. Lalu secepat mungkin menghirup udara segar pada celah tersebut.

Abah melakukannya berulang-ulang. Hingga suara azan Zuhur berkumandang. 3 jam sudah berlalu upaya menyiksa Abah Endang yang tak membuahkan hasil.

Abah pun dikeluarkan dari ruangan jahannam tersebut. Pak Mamat rupanya sudah ada di luar, begitu juga Abah Iri yang dalam keadaan setengah sadar karena bengkak dan memar di seluruh kepalanya.

Jam satu siang. Mereka dibolehkan shalat Zuhur. Ada masjid tak jauh dari Koramil. Mereka meminta izin kepada warga untuk shalat. Tangis tumpah sejadi-jadinya. Air mata membasahi tempat sujudnya. Semua doa yang paling lirih dipanjatkan kepada Allah Ta’ala.

Selesai shalat mereka kembali ke kantor Koramil. Abah Endang, Abah Iri dan Pak Mamat disatukan dalam satu ruangan. Mereka kembali ditanya soal kesiapannya keluar dari Ahmadiyah. Mereka dengan tegas menolak dan tetap mempertahankan keyakinannya.

Asbak alumunium pun melayang dan mendarat di kening Abah Endang. Abu rokoknya langsung memenuhi wajah dan baju Abah.

Dandramil kembali menekan supaya keluar dari Ahmadiyah. Tapi Abah Endang langsung berkata, “Maaf pak, apakah dalam pemerintahan Indonesia, soal keagamaan harus ditangani sama tentara?”

Baru selesai Abah bertanya, Dandramil langsung mengambil papan namanya yang terbuat dari keramik, lalu dilemparnya sekuat tenaga ke arah Abah Endang. Namun, pertolongan Allah Ta’ala datang. Berbarengan dengan lemparan tersebut, ada pulpen jatuh, dimana Abah tanpa sadar menunduk untuk mengambilnya.

Selamatlah Abah. Sebab, papan nama tersebut hancur berkeping-keping.

Dandramil terlihat lelah karena upayanya baik fisik maupun psikis tak sedikit pun menggoyahkan keimanan ketiga orang Ahmadi tersebut. Akhirnya, ia pun berkata, “Sekali lagi saya bertanya, apakah Ahmadiyah itu ajaran yang benar?”

“Ajaran yang benar pak!” Abah Endang menjawab.

“Jika memang Ahmadiyah benar, saya berani melaknat diri sendiri,” lanjut Dandramil.

Karena perih dan derita yang demikian dahsyat yang diderita Abah Endang, sisi kemanusiaannya seolah “mengaminkan” dalam hati perkataan Dandramil.

Akhirnya, pertemuan paling menguji iman itu selesai sekitar jam empat sore. Kelima anggota Jemaat itu tampil menjadi pemenang. Meski mereka babak belur, tapi tak sedikit pun iman mereka goyah. Bahkan Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada mereka untuk sampai di rumah dengan selamat dengan berjalan kaki sejauh 10 kilometer.

Abah Endang dan Pak Mamat pergi ke Garut mendatangi Pak Mubaligh untuk melaporkan kejadian tersebut. Saat itu yang berdinas di Garut adalah Mln. Muhammad Ahmad. Pak Mubaligh menyodorkan kertas dan mesin kepada mereka agar menulis kronologis peristiwa tersebut.

Setelah laporan rampung diketik, Pak Mubaligh menyerahkan laporan tersebut kepada Pak Safardi, anggota Jemaat Ahmadiyah yang merupakan prajurit TNI. Laporan tersebut diserahkan kepada Dandim Garut.

Rupanya, laporan tersebut langsung direspon oleh Dandim. Baru Minggu laporan tersebut diserahkan, Seninnya Dandim langsung datang ke lokasi. Di rumah seorang warga sudah berkumpul Dandim, seluruh Danramil, tentara, polisi juga jaksa.

Dandim Garut memperkenalkan dirinya dan memberitahukan maksud kedatangannya yakni untuk meninjau laporan yang diterimanya dari Abah Endang kemarin.

Abah Endang ditanya banyak hal, salah satunya, apa yang membuat Abah dan yang lain mendapat panggilan dari Koramil dan sampai mendapat penganiayaan fisik?

Abah menjawab, “Kami tidak tahu pasti kenapa kami dilaporkan dan mendapat panggilan, karena yang kami lakukan hanya membangun masjid untuk beribadah. Sedangkan penyiksaan yang terjadi karena kami mempertahankan keimanan dan keyakinan kami.”

Dandim Garut berkata, “Saya mengerti yang telah Bapak Endang alami dan menerima kesalahan atas bawahan saya, dan sekarang saya membawa jaksa. Apakah dari pihak Ahmadiyah akan menuntun ke meja hijau atau bagaimana? Silahkan proses verbalnya diserahkan kepada jaksa sekarang juga.”

Dan respon yang diberikan oleh Abah Endang benar-benar mengejutkan semua orang yang hadir, “Kami sebagai anggota ahmadiyah tidak diperbolehkan untuk menyimpan dendam. Kami akan memaafkan dan tidak akan memperoses ke jalur hukum, namun ada  permintaan dari pihak kami.”

Pak Dandim demikian kagetnya lalu menoleh kearah Abah Endang dan bertanya, “Apa itu?”

“Kami ingin diperlakukan seperti warga negara biasa pada umumnya, kalau warga biasa boleh membangun masjid, begitu juga dengan anggota Ahmadiyah agar diperbolehkan.”

“Hanya itu?” tanya sang Dandim.

“Iya pak..” jawab Abah Endang.

“Boleh. Pembangunan mesjid silahkan teruskan, kalau ada apa-apa lapor pada saya,” sahut Dandim tersebut.

“Alhamdulillahi rabbil a’laamiin,” Abah Endang menangis sambil diiringi sujud syukur.

Dan selanjutnya Abah Endang meminta perjanjian hitam di atas putih  untuk izin membangun mesjid Jemaat Ahmadiyah yang ditandatangani langsung oleh Dandim.

Dirangkullah Abah Endang oleh dandim karena keputusan Abah Endang yang tidak ingin memperkarakan mereka ke meja hijau dan memohon maaf atas kelemahan dan kesalahan anak buahnya.

Seiring dengan berjalannya waktu Jemaat Cibatu makin berkembang. Anggota Jemaat makin banyak. Dan pada akhirnya menjadi sebuah cabang.

Pengorbanan para awalin begitu luar biasa. Harus berhadapan dengan kematian untuk mempertahankan keimanan. Dan buahnya kini tengah dinikmati oleh generasi selanjutnya.

.

.

.

Penulis: Cucu Komariah

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 1366

Cucu Komariah

8 thoughts on “Tetap Pertahankan Iman Meski Nyawa Taruhannya

  1. Masya Allah…perjuangan para awalain sungguh sangat luar biasa.. Semoga keteguhan imanannya tertular kepada kita semua. Demi mempertahankan keyakinan yg benar rela dianiaya. Dan saat diberikesempatan untuk membalas malah memilih untuk damai dan memaafkan. Sungguh ini contoh akhlaq mulia Rosulullah Saw yang dihidupkan kembali oleh warga Ahmadiyah.

  2. Masya Allah..kisah para pejuang awalin sangat luar biasa👍🏻👍🏻
    Sungguh menyentuh dan terharu membaca kisahnya

  3. MasyaAllah..begitu besar perjuangn kaum awalin…semoga generasi muda lbh bersemangat u berkhidmat dalm jemaat…

  4. Masyaallah.. memang kisah yg luar bisa, penuh perjuangan, penuh haru, masih tak kuat menahan haru meski sudah membaca berkali-kali .😭

  5. Kebenaran akan selalu unggul diatas kebatilan, dan bagi mereka'”yg mengatasnamakan pemerintah atau aparat yg dlam hal menjalankan amanahnya tidak benar , sungguh ke dzaliman yg mereka lakukan adalah cerminan dalam diri mereka sedikit sekali akhlak baiknya dan pemikirannya yg gelap.

  6. Masya Allah pengorbanan mereka membuahkan hasil yang bisa menjadi amal jariah karena jemaat menjadi berkembang dengan pesat di Cibatu, semoga Allah SWT membukakan hati orang orang untuk menerima kebenaran jemaat , aamiin ya rabbal aalaamiin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *