MENGAPA KAMI HANYA INGIN DAN HARUS MENIKAH DENGAN SESAMA AHMADI

Dulu ketika saya belum menikah, dan bahkan belum bertemu dengan suami saya, pernah beberapa kali kawan-kawan kuliah menawari saya untuk dikenalkan dengan entah teman atau saudaranya. Dan sekilas mendengar cerita mereka terhadap pria-pria yang akan dikenalkan kepada saya ini, saya menangkap kesan bahwa mereka pria-pria yang baik, pintar, dan juga punya pekerjaan yang baik. Kriteria standar calon suami idaman.

Tapi saya adalah seorang Ahmadi. Saya mencintai keyakinan saya sebagai seorang Ahmadi, dan saya sangat bangga dan bersyukur sebagai seorang Ahmadi. Karena alasan-alasan inilah, saya yakin bahwa saya hanya ingin menikah, dan memang yang terbaik adalah menikah dengan sesama Ahmadi pula. Ahmadi yang juga mencintai keyakinannya sebagai Ahmadi, Ahmadi yang bangga dan bersyukur karena dirinya adalah seorang Ahmadi.

Karenanya saya tak butuh berpikir dua kali untuk menolak dengan halus tawaran dari teman-teman saya itu. Sederhana saja, karena pria-pria yang ingin mereka kenalkan kepada saya bukanlah seorang Ahmadi. Karena walaupun jodoh saya kala itu masih di awang-awang, hati saya sudah ada yang memiliki. Hati saya sudah dimiliki oleh keyakinan saya sendiri sebagai seorang Ahmadi.

Jauh sebelum saya menikah, saya sudah punya visi rumah tangga yang ingin saya bangun nanti dengan suami saya. Saya sadar betapa pentingnya visi dan misi dalam berumah tangga, karena saya memiliki pengamatan pribadi yang cukup banyak terhadap pengalaman-pengalaman orang lain dalam membangun dan membina rumah tangganya.

Saya menyadari bahwa rumah tangga bukan semata-mata sebuah perjalanan cinta yang baru dalam hidup seseorang. Rumah tangga adalah sebuah babak baru hidup seseorang di mana akan berdatangan masalah-masalah, ujian-ujian, dan tantangan-tantangan hidup yang baru. Hanya saja, kali ini kita tidak akan menghadapinya sendirian. Dalam rumah tangga, kita akan menghadapi berbagai masalah, ujian, dan tantangan hidup bersama-sama. Bersama pasangan dan anak-anak kita.

Karena itulah sedari awal saya ingin menikah dengan sesama Ahmadi. Saya ingin meminimalisir konflik dalam rumah tangga saya, hanya karena perbedaan keyakinan. Saya tidak ingin energi, waktu, dan pikiran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk menghadapi tantangan di luar rumah tangga, harus terbagi untuk menghadapi konflik di rumah tangga sendiri hanya karena sedari awal sudah ada perbedaan keyakinan, cara pandang, dan visi misi dalam berumah tangga. 

Saya menyadari bahwa keharmonisan rumah tangga sangatlah penting sebagai kekuatan bagi jiwa-jiwa yang berada di dalamnya. Karenanya saya tak pernah bersedia berkompromi pada prinsip saya. Saya hanya ingin dan harus menikah dengan sesama Ahmadi. 

Saya meyakini Jemaat ini adalah Jemaat Illahi. Karenanya saya tak pernah kehilangan keyakinan bahwa Allah Ta’ala akan memberikan saya jodoh juga dari Jemaat ini. Walaupun proses penemuan jodoh yang harus saya lalui begitu panjang, berliku, kadang melelahkan dan menguras air mata, tak pernah sedetikpun saya hilang keyakinan. Saya yakin Dia akan mengirimkan jodoh untuk saya di Jemaat ini yang memiliki prinsip dan rasa cinta yang sedemikian besar dan dalam kepada Jemaat Illahi ini. Sekali lagi, keyakinan ini tak pernah hilang sedetikpun dari dalam diri saya.

Karenanya, saya memohon maaf kepada siapapun yang beranggapan bahwa Jemaat Muslim Ahmadiyah terlampau ketat dalam mengatur masalah pernikahan anggotanya. Tapi, aturan ini semata-mata hanyalah perlindungan untuk kami. Agar kami bisa memiliki pernikahan yang harmonis, yang minim dari konflik yang tak perlu, yang bisa menjadikan setiap individunya tidak saja memiliki jiwa dan rohani yang kuat, tetapi juga sehat. Agar kami dan anak-anak kami tetap merasakan damai dan bahagia di tengah gempuran penilaian tak benar yang dialamatkan kepada kami, yang berwujud dalam perkataan dan perbuatan.

Itulah mengapa kami hanya ingin dan harus menikah dengan sesama Ahmadi. Karena kami percaya, menikah dengan sesama Ahmadi adalah yang terbaik bagi masa depan kehidupan kami, dan anak keturunan kami.

Visits: 102

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *