Tolok Ukur Kebaikan

“Perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.” Kalimat ini benar adanya. Karena sejatinya, tidak ada seorang pun yang ingin diperlakukan dengan buruk, sejahat apapun dia.

Kalimat di atas juga adalah kalimat yang tepat karena fokusnya adalah kita. Kita yang ingin diperlakukan baik, maka kita pun memperlakukan orang lain dengan baik. Walaupun nantinya kita tak mendapat perlakuan baik sebagaimana yang kita harapkan, kalimat di atas mengajarkan bahwa kita hanya fokus pada bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Hadhrat Abu Bakar r.a. pernah menyatakan, “Jadilah seperti pohon kayu yang lebat buahnya, tumbuh di tepi jalan. Dilempar buahnya dengan batu, tetapi tetap dibalas dengan buah.” Maknanya, walaupun kita mendapat perlakukan buruk dari orang lain, tetaplah membalas dengan kebaikan.

Namun sekarang pertanyaannya, bagaimana bentuk kebaikan yang sesuai dengan ajaran Islam? Apakah senantiasa menampilkan kesabaran dan kelemah-lembutan adalah kebaikan? Apakah sesekali menunjukkan kemarahan atau memberikan hukuman selalu merupakan keburukan?

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pernah bersabda, “Allah telah menciptakan kemarahan bukan tanpa ketepatan (tidak sia-sia). Penggunaannya yang tidak benar memang tidak tepat. Seseorang bertanya kepada Hadhrat Umar r.a., “Sewaktu masih kafir, engkau sangat pemarah, sekarang bagaimana keadaan marah engkau?” Beliau menjawab, “Marah itu sampai sekarang pun masih ada, tetapi penggunaannya yang dulu itu tidak tepat, sekarang sudah tepat.””[1]

Kemarahan, kesabaran, nafsu seksual, dan lain sebagainya merupakan potensi-potensi yang telah ditanamkan oleh Allah Ta’ala ke dalam diri manusia. Islam tidak pernah mengajarkan manusia untuk menghilangkan potensi-potensi yang telah tertanam di dalam dirinya. Islam mengajarkan manusia untuk mengelola potensi-potensi tersebut, sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:

“Seberapa banyak potensi (kekuatan) yang telah dianugerahkan oleh Tuhan, kesemuanya itu diberikan bukanlah untuk disia-siakan. Menciptakan keseimbangan pada potensi-potensi (kekuatan-kekuatan) itu serta menggunakannya pada jalan yang benar adalah merupakan pertumbuhan (perkembangan) potensi-potensi itu sendiri. Oleh karena itulah Islam tidak mengajarkan supaya potensi kejantanan (seksual) maupun potensi mata itu dicabut (dihilangkan), melainkan ia mengajarkan untuk memanfaatkan mereka pada jalan yang benar serta mensucikan potensi-potensi tersebut.”[2]

Membalas dengan kebaikan tidak selalu berarti bahwa kita selalu menampilkan kesabaran atau lemah lembut yang tidak pada tempatnya. Karena, bila dilakukan dengan tidak bijaksana, kesabaran dan kelemahlembutan itu justru dianggap sebagai kelemahan atau ketidakberdayaan. Hal ini pun dicontohkan oleh Hadhrat Rasulullah saw.

Suatu kali beliau tengah tertidur di bawah sebuah pohon [sepulangnya dari suatu peperangan]. Beliau terbangun mendengar suatu keributan. Ternyata seorang badui (Arab gurun) sambil menggenggam pedang mendekati beliau, lalu menggertak, “Hai, Muhammad! Katakanlah, siapakah yang akan dapat menyelamatkan engkau dari tanganku saat ini?!” Dengan sangat tenang dan tentram beliau bersabda, “Allah!”

Demikianlah kata “Allah” telah keluar dari mulut beliau saw. sehingga menimbulkan dampak yang besar pada diri orang itu dan tangannya pun gemetar, sehingga pedang terjatuh. Pedang itu juga yang diambil Rasulullah saw., lalu beliau saw. bersabda kepadanya, “Sekarang katakanlah, siapa yang akan dapat menyelamatkan engkau dari tanganku?” Nama siapa pula yang dapat disebut oleh orang badui yang sudah gemetaran tersebut.

Akhirnya Rasulullah saw. memperlihatkan akhlak fadhilah beliau saw. dan bersabda, “Pergilah! Engkau dibebaskan.” Dan beliau bersabda lagi, “Pelajarilah akhlak dan keberanian dariku. Mukjizat akhlaki tersebut telah memberikan dampak (pengaruh) sedemikian rupa pada orang itu, sehingga akhirnya ia masuk Islam.[3]

Ketika beliau saw. nyaris dibunuh oleh orang Badui tersebut, tak sedikitpun beliau gentar dan keyakinannya berkurang terhadap Allah Ta’ala. Ketika akhirnya beliau saw. bisa membalas, beliau saw. melakukan kebaikan dengan menampilkan keberaniannya dan menunjukkan ke orang Badui itu bahwa keyakinannya itu salah dan tak ada artinya. Hingga akhirnya, pemberian maaf pun diberikan Rasulullah saw. dan menjadikannya teladan bagi orang tersebut.

Inilah makna kebaikan dalam Islam. Selalu menampilkan sikap diam, sabar, lemah lembut, tidak dipandang sebagai akhlak dalam Islam. Tetapi, menampilkan segala sifat tersebut dalam waktu dan situasi yang tepat, itulah yang dinamakan akhlak. Itulah salah satu tujuan diturunkannya Islam, agar manusia mampu mengelola dan menyeimbangkan segala potensi yang telah ditanamkan Allah Ta’ala di dalam dirinya di jalan yang benar.

Referensi:
[1] Malfuzat, jld. II, hlm. 316-317
[2] Malfuzat, jld I, hlm. 35
[3] Malfuzat, jld. I, hlm. 101

Visits: 111

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *