WUJUD SUCI MELUNTURKAN KEBEKUAN HATI

Ini adalah sebuah kisah yang terjadi pada diriku. Dulu sekali. Lebih dari 20 tahun yang lalu. Sebuah momen dimana hati ini benar-benar yakin akan Wujud Suci yang Allah Ta’ala turunkan sebagai berkah bagi umat manusia.

Aku adalah seorang Ahmadi keturunan. Keluarga besar orangtuaku adalah pengikut Ahmadiyah. Namun karena suatu pekerjaan, keluarga kami terpaksa berpindah dari kota kelahiranku.

Namun itu tak menyurutkan orangtua untuk tetap mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa kami adalah Ahmadi. Orangtuaku termasuk pengurus di kota aku dibesarkan, cukup disegani malah.

Sejak kecil kami terbiasa mengikuti kegiatan-kegiatan Jemaat. Mengikuti beragam kegiatan Jemaat seakan sudah menjadi santapan rohani bagi aku dan kedua adikku sejak kecil hingga kami beranjak remaja.

Memasuki usia remaja, gejolak jiwa remajaku mulai sedikit berontak dengan kenyataan bahwa kami adalah Ahmadi. Entah karena apa? Tapi aku selalu bertanya-tanya kepada orangtuaku, kenapa kami tidak boleh sholat berjamaah di Masjid dekat rumah?

Kami memang tidak tinggal di dekat Masjid Jemaat. Butuh waktu yang cukup lama saat itu untuk datang ke mesjid Jemaat mengikuti kegiatan. Akhirnya hanya shalat Jumat dan kegiatan pengajian ibu-ibu (muawanah) yang bisa kami ikuti.

Saat usia Sekolah Menengah Atas, mungkin itulah saat-saat dimana jiwa pemberontakku semakin menjadi. Sebab aku makin merasa beda dengan teman-teman sepermainan dan sekolahku.

Aku mulai banyak mencari alasan untuk tidak ikut dengan orangtuaku ke acara-acara yang diselenggarakan oleh Jemaat. Lingkungan telah mempengaruhiku rupanya.

Ah sungguh sangat sedih jika mengingat semuanya. Betapa aku telah berdosa sering membohongi orangtua dengan berbagai macam alasan. Namun orangtuaku selalu berdoa bahwa suatu hari nanti aku pasti menyakini tentang kebenaran Ahmadiyah.

Suatu hari aku mendapat kesempatan untuk berkuliah di kota kelahiranku, dengan jalur khusus, tanpa tes, masuk PTN bergengsi. Tak berfikir lagi, aku ambil kesempatan itu. Fikirku akan terbebas dari orangtua. Sehingga tidak akan ada yang melarangku untuk melakukan apa yang kumau.

Mantap, akhirnya aku memulai kehidupan kampusku, jauh dari orangtua. Indekost merupakan pilihanku di tahun pertama kuliah. Tak pernah sedikitpun aku mengikuti kegiatan Jemaat. Lingkungan kampus telah membuat aku semakin lupa akan Jemaat.

Namun sebaik-sebaiknya perencana adalah Dia, Tuhan Yang Maha Muhsin, yang tak pernah membiarkan hamba-Nya terlalu lama berada jauh dari naungan Khilafat.

Tahun 2000 merupakan tahun bersejarah bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dimana saat itu Khalifah Jemaat Ahmadiyah yang keempat datang ke Indonesia, Hazrat Mirza Tahir Ahmad rh.

Ini merupakan moment paling bersejarah untuk Jemaat Indonesia. Begitupula untukku. Hampir di seluruh pelosok negeri ini menyambut kedatangan Khalifah. Siapa Ahmadi yang tidak bahagia? Kegembiraan atas kedatangan beliau, disambut besar-besaran oleh seluruh Ahmadi di negeri ini.

Saat itu kebetulan sedang libur semester, aku berkesempatan untuk pulang ke rumah orangtuaku. Entah ini merupakan suatu kebetulan atau memang Allah Ta’ala sudah menggariskan dalam kehidupanku. Aku berkesempatan mengikuti Mulaqat dengan Huzur (panggilan untuk Khalifah), di Bandung.

Kami berkumpul di Masjid Mubarak di jalan Pahlawan. Para Ahmadi yang berasal dari tanah sunda, semua penuh sesak ingin berjumpa dengan Huzur. Akupun ikut saja, bersama keluargaku. Tanya jawab digelar. Tentu, siapa yang tidak mau berkomunikasi langsung dengan Khalifahnya? Suatu kesempatan emas yang mungkin takkan terulang lagi.

Mendengar ceramah beliau, mendengar jawaban-jawaban beliau atas pertanyaan beberapa anggota Jemaat lainnya, entah mengapa hati ini merasa tentram. Mendengar beliau berbicara saja rasanya hati ini ingin menangis.

Padahal aku belum bertemu langsung dengan beliau. Ya Allah apakah ini adalah rencana-Mu? Rencana Agung-Mu untuk mencairkan hatiku atas kebekuan hati yang selama ini aku alami? Entahlah…

Meski keadaan Masjid Mubarak penuh sesak, tiba-tiba aku merasakan magnet yang luar biasa, yang mulai menarikku untuk melihat wujud suci Huzur. Dan entahlah, Allah mengabulkannya.

Sebuah pengumuman datang bahwa Huzur ingin bermulaqat dengan kaum Ibu dan anak-anak. Akupun mengikutinya.

Banyak ibu-ibu saat itu menggendong anaknya yang masih kecil, berusaha mendekati Huzur. Karena Huzur memang menyukai anak kecil. Satu persatu Huzur menyentuh kepala anak kecil yang digendong ibunya, entah mereka mengerti atau tidak bahwa yang menyentuh kepala mereka adalah seorang Imam Jemaat, seorang Khalifah.

Entah kekuatan apa yang menggerakkan ragaku, aku semakin mendekati beliau. Padahal saat itu sangat ketat penjagaannga. Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di hadapan beliau, melihat wujud suci dari dekat entah mengapa air mata mengucur deras di pipiku.

Tiba-tiba beliau mengusap kepalaku, Masya Allah tak ada kata-kata lain yang bisa kuucapkan saat itu, dengan berada langsung di hadapan beliau.

Aku semakin yakin bahwa Ahmadiyah adalah benar adanya. Kebekuan hatiku luntur seketika. Tak ada lagi pemberontakan hati, tak ada lagi keraguan dalam hatiku akan kebenaran Imam Mahdi, kebenaran Jemaat Ilahi ini.

Wujud suci Huzur seakan menghipnotis diriku sekatika itu juga. Aku kembali kepada pangkuan orangtuaku menjadi seorang Ahmadi yang mukhlis, begitulah tekadku selanjutnya.

Hari-haru berlalu, aku kembali mengikuti kegiatan Jemaat di tempat aku menimba ilmu. Mulai berkenalan dengan para Lajnah (sebutan untuk kaum ibu) dari berbagai daerah. Ternyata ada beberapa Lajnah yang sedang berkuliah di PTN yang sama denganku,

Hari-hariku kini mulai berwarna lagi. Kegiatan Jemaat mulai kuikuti kembali. Nikmat hati tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Damai kurasa saat berada dalam lingkungan Jemaat.

Tahun 2003 aku mendapat nomor wasiyat, berkah kembali kurasakan karena kembali kepangkuan Jemaat.

Tahun 2004 aku lulus kuliah dan langsung mendapat pekerjaan.

Tahun 2007 akhirnya aku menikah dengan seorang Mubaligh. Sebuah Garis kehidupan yang kurasa Indah untukku.

Ya Allah begitu banyak keberkahan yang Engkau berikan kepadaku. Keraguanku akan kebenaran Ahmadiyah hilang begitu saja, laksana api yang membakar kayu, tersisa hanya debu yang bisa hilang hanya dengan meniupnya.

Keraguan itu bagai debu, tertiup oleh angin kebenaran seorang wujud suci Khalifatul Masih IV, Hazrat Mirza Tahir Ahmad rh.

.

.

.

editor: Muhammad Nurdin

Visits: 46

Meilita Hikmawati

2 thoughts on “WUJUD SUCI MELUNTURKAN KEBEKUAN HATI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *