ajaran kasih sayang

Ajaran Kasih Sayang

Kata hilmun dalam bahasa Arab memiliki arti kesabaran, kasih sayang, bersikap pemaaf, toleransi, kebaikan dan menekan perasaan marah.

Tak ayal kemudian kata yang menjadi kumpulan segala sikap baik itu disandingkan menjadi satu nama sifat Allah Ta’ala; Al-Halim.

Sebagai ajaran yang universal, kasih sayang dapat dilihat secara mudah manifestasinya dari tauladan para nabi, karena beliau-beliau lah wujud yang mendapatkan anugerah untuk dapat menyerap sifat-sifat Tuhan guna menjadikannya contoh tauladan bagi umat, sekaligus menjadi bukti legalitas dari kebenaran dakwahnya.

Diantara nabi-nabi itu Rasulullah Muhammad Saw merupakan yang terbanyak menerima anugerah sifat-sifat Ilahi, sehingga beliau menjadi contoh paling mulia bagi umat manusia di seluruh dunia untuk sepanjang zaman.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Zaid Bin Sun’ah seorang Alim Yahudi yang berpengetahuan tinggi datang dari Madinah kepada Rasulullah Saw, kisah ini Zaid Bin Sun’ah sendiri yang menceritakannya, katanya:

“Ketika saya berjumpa dengan Muhammad Rasulullah Saw, saya melihat semua keindahan akhlak dan sifat luhur beliau kecuali dua hal (sifat) beliau yang belum terlihat oleh saya. Pertama sifat halim yang mengalahkan dan menguasai kemarahan. Kedua, betapa kerasnya seorang diperlakukan tidak sopan dan kasar oleh orang lain namun sifat sabar dan kasih sayangnya semakin cemerlang. Saya ingin sekali menyaksikan kedua sifat ini pada diri beliau.”

Singkat kata kesempatan untuk menguji kedua sifat itu pun datang, tatkala Rasulullah Saw memiliki hutang kepada Zaid Bin Sun’ah karena membantu orang-orang di kampung yang sedang dilanda kekeringan dan kelaparan.

Zaid Bin Sun’ah bertutur; “Beberapa hari sebelum jatuh tempo untuk pembayaran hutang tersebut, saya mendatangi Rasulullah Saw untuk menagih hutang. Saya tarik kain serta jubah beliau sambil berkata: ‘Hai Muhammad! Apakah hak saya mau dibayar atau tidak? Demi Allah saya tahu betul keadaan kakek engkau Abdul Muthallib yang sangat kikir; ia selalu mengundur-undurkan perjanjian dalam urusan hutang. Dan saya juga tahu tentang engkau hai Muhammad! Engkau senantiasa melambat-lambatkan janji.’

Ucapan kasar dari Zaid Bin Sun’ah tersebut sontak membuat murka semua sahabat yang ada ketika itu, Umar ra yang sedang duduk dekat Rasulullah Saw sangat marah atas penghinaan tersebut.

“Hai musuh Allah! Mengapa engkau berani berkata sangat kasar dan tidak sopan kepada Rasul Allah? Demi Allah jika aku tidak takut kepada beliau saw sudah ku pukul kepala engkau dengan pedangku ini.”

Walaupun suasana sangat tegang Rasulullah Saw menghadapinya dengan sabar dan tenang, berkata sambil senyum kepada Umar ra;

“Hai Umar! Janganlah engkau marah kepadanya! Lebih baik kita bayar hutang itu kepadanya! Pergilah engkau Umar bersama Zaid Bin Sun’ah ini dan bayarlah utang kepadanya. Dan ingat tambahlah 20 sa’ (44 kg) lagi sebab engkau telah memarahi sambil mengancam dan menakut-nakuti dia!”

Singkat cerita, setelah menyaksikan sifat hilm Rasulullah Saw tersebut, Zaid Bin Sun’ah demikian terkesan dan memeluk Islam. Kemudian ia membebaskan separuh dari hutang itu untuk Islam.

Dari kisah tadi nampak pada kita betapa tinggi dan luhurnya akhlak Rasulullah Saw. Tauladan luhur lagi agung itu tentu tidak hanya berlaku untuk para sahabat di zaman dulu saja, bahkan semestinya mampu ditiru dan menjadi identitas bagi keislaman kita saat ini bahkan bagi mereka yang datang setelah kita.

Demikian kontras terlihat, bagaimana Islam saat ini telah ditampilkan dengan suatu wajah baru lagi asing. Ia sering disandingkan dengan aksi teror, anarkisme, persekusi, intoleransi dan berbagai prilaku kasar lainnya.

Tidak harus melemparkan pandangan jauh ke Afghanistan, Pakistan atau Suriah untuk melihat berbagai rupa kebengisan itu. Di Negeri ini pun sekarang, aksi dan gerakan-gerakan tersebut telah mulai merasuki perilaku keislaman kita beberapa tahun belakangan ini.

Apa yang didapat dari semua kekeliruan itu? Tidak lain kecuali sebuah label bahwa Islam adalah sebuah ancaman bagi keamanan.

Jika kemudian potret itu yang terus-terus dipertontonkan, maka dimanakah “rahmat” yang sedari awal menjadi tujuan turunnya risalah ini?

Untuk itu, mari kita sudahi semua ‘kekalutan’ ini? Kita tinggalkan semua perselisihan, rasa superioritas yang tak penting dan kembali menapaki ajaran kasih sayang yang merupakan ciri khas ajaran (Islam) ini.

Nabi Saw pernah bersabda:

“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”

Untuk itu, tebarkanlah ajaran kasih sayang. Sebab ia yang tidak bersaudara dalam iman-pun tetap bersaudara dalam kemanusiaan.

 

Hits: 116

Muballigh at JAI | Website

Seorang Penulis, Muballigh dan pemerhati sosial. Tinggal di Pulau Tidung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories