ANTARA DUA DUNIA

Mentari pagi mulai menyinari bumi. Kumelihat seorang wanita berkerudung dengan pakaian lengkapnya. Memakai atasan kaos lengan panjang, training, sepatu kets. Tak lupa pula memakai safety yang sekarang menjadi trend, ya masker.

Wanita berusia sekitar 50 tahunan itu berjalan santai menyusuri pinggiran trotoar. Menikmati pagi hari sejuk, sambil mendengarkan sesuatu yang menenangkan dari earphone yang menempel di telinganya. Seolah dunia ini miliknya.

Seberkas senyum menghiasi perjalanan singkatnya. Hingga tibalah ia di persimpangan jalan kecil. Jalan menuju suatu tempat yang selalu ia rindukan.

Semilir angin menghembus pelan. Sang mentari seolah malu untuk menyapa. Suasana kelabu ini makin membuat segenggam rindu, makin menjadi.

Langkahnya makin cepat. Detak jantungnya makin kencang. Tanah yang becek tak membuat langkahnya melambat. Seolah telah menunggu seseorang. Seseorang yang amat spesial baginya.

Tibalah ia di tujuannya. Sebuah tempat yang indah. Tenang. Hanya kicauan burung yang sesekali menyapa. Semerbak wangi bunga kamboja membuat aroma rindu itu makin sendu.

Menelusuri jalan setapak. Mencari sebuah titik pertemuan. Detak jantungnya makin tak menentu. Ritme nafasnya tak beraturan. Ingin rasanya ia sampai di titik pertemuan itu.

Sampailah ia disana. Berdiri sejenak. Sambil memandangi sebuah pusara. Batinnya mulai bergejolak. Titik-titik air mata mulai berkumpul. Diangkatlah kedua tangannya sebelum air tersebut tumpah.

Sederetan doa yang paling khas ia panjatkan kepada Sang Khalik. Tak terasa air mata mulai menetes. Sejumlahlah kata yang tak sempat disampaikan, harus rela ia kirimkan meski tanpa kepastian jawaban.

Duduklah ia di samping titik perjumpaan itu. Dengan jemari lentiknya, ia bersihkan dedaunan yang berjatuhan. Tak kuasa matanya menahan rindu yang begitu sendu itu.

Dengan suara yang amat lirih ia mengatakan, “Assalamu’alaikum kakak… I love you.”

Di pusara tersebut tertulis sebuah nama yang penuh doa. Di bawahnya tertulis tanggal kelahiran dan kepergiaan. Nama yang tertulis penuh makna itu adalah suaminya. Yang sudah terlebih dulu berada di sisi-Nya.

Kini suaminya telah berada di tempat peristirahatan terakhir. Di sebuah tempat dimana dijanjikan sebuah surga di dalamnya.

Ia pernah mengatakan, tidak ada tempat yang lebih indah di negeri ini selain tempat ini. Ia juga pernah mengatakan, saya yakin di tempat ini tidak ada yang namanya corona, karena matahari selalu menyinari juga hujan datang silih berganti, corona pasti tak akan betah.”

Itu adalah keyakinannya. Keyakinan yang lahir dari cinta. Cinta yang kini hidup di dua dunia.

Sudah puas menumpahkan kerinduannya. Ia pun beranjak pulang. Melewati sebuah gerbang yang menjadi saksi bisu. Bahwa pada akhirnya kita pun kembali kesana.

Visits: 37

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *