
RAGA TANPA UCAP
Hidup ini seperti buku. Cover depan adalah tanggal lahir, cover belakang adalah tanggal kematian. Tiap lembar adalah hari-hari dalam hidup kita. (Kata bijak)
Halilintar bagai menyambar dengan tegangan ribuan volt di angkasa social distancing corona. Hampir terloncat saat hendak terlelap istirahat sore. Notifikasi whatsapp memekik tajam. Mencekik imajinasi keindahan alam petang.
Klik! Pesan dibuka. Jantung serasa berhenti berdenyut. Mata dieksekusi optimal. Serasa tak percaya. Sahabat dengan senyum manis berlesung pipit pergi dengan mendadak. Tuhan memeluk dalam dekapannya. Tak sempat aku menengoknya. Secepat kilat engkau pergi. Maut tak mau berhenti menyapa meski saat era corona. Seharusnya tak ada di keramaian tapi fardhu qifayah tak mungkin kerelakkan.
Rasa kehilangan menggores kalbu di titik paling dalam. Segera meluncur menuju rumah duka. Hanya sedikit waktu. Selesai dimandikan akan segera diangkut dengan keranda. Dengan ambulans menuju alam keabadian di luar provinsi sana.
Hanya tersisa sedikit waktu bagiku. Menebus rasa bersalah tak sempat bersamanya dalam kepayahan berjuang dalam mautnya, kumandikan sahabatku. Aku ingin puas mengurusnya di akhir waktu. Satu jam lagi raganya tak bisa kupegang dengan penuh sayang lagi.
Sahabat terbujur kaku. Bimbang kuusir. Ini raga pertama tanpa nyawa yang kusentuh lagi setelah ayahanda. Segera dimulai. Percikan air mengalir terasa beku dingin menggigit. Dari atas kepala hingga ujung kaki mulai kusiram perlahan. Berkali-kali. Kugosok-gosok.
Wajahnya menatap tanpa fokus. Tiada lagi senyum manismu dan kelakarmu. Diam sejuta kata. Tiga anakmu dan bayi yang baru kau lahirkan meraung tapi dirimu tak bergeming. Sementara itu, suamimu sedang berlayar jauh di negeri orang. Takkan sempat melihatmu untuk terakhir kali sebelum tanah merangkulmu.
Prosesi mandi selesai. Beberapa orang mengangkatmu. Kembali kuraih dirimu. Kukenakan baju kebesaranmu. Busana suci dengan kerudung putih bersih. Antara sadar dan tidak, aku mulai mengikatmu. Tali terakhir membuat parasmu tak nampak lagi. Jerit perpisahan tersekat di tenggorokan. Saat aku bersamamu seperti ini, sebenarnya dimanakah dirimu? Sedang apa dirimu? Habis daya pikirku mengukir tebak yang tak bertepi.
Keranda menunggumu. Apalah dayaku lagi. Dirimu lepas dariku. Lenyap sudah dari pandangan. Dirimu pergi jauh. Sangat jauh. Entah kapan bisa bersua kembali. Tak ada lagi yang tersisa selain cinta. Lunglai tubuhku. Rubuh di pembaringan. Selamat jalan, sahabat. Berusaha percaya bahwa ini nyata. Bukan mimpi buruk semata. Betapa sulitnya menerima realita dan membangunkan diri.
Tuhan, titip sahabatku.
Lidahku kelu.
Tak mampu mengucap kata lagi.
Visits: 49