Belajar dari Rasulullah saw.: Menghargai Istri dan Perempuan
Seorang wanita marah besar ketika ia mengunjungi rumah anaknya, tatkala mendapati anak laki-lakinya tengah menjemur pakaian. Sementara sang menantu terlihat sedang duduk santai sambil menyuapi cucunya. Padahal, sang menantu pun sejak dini hari telah mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga dari mulai membersihkan rumah hingga menyiapkan sarapan.
Masih banyak orang yang berpendapat bahwa pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, mencuci piring, mengepel, apalagi memasak adalah pekerjaan istri. Mereka menganggap tugas suami hanyalah bekerja mencari nafkah dan tidak boleh mengerjakan apapun lagi di rumah. Hal itu terkait dengan stereotip gender yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang diajarkan oleh orangtua dan masyarakat sekitar.
Padahal, Islam sangat menganjurkan agar para suami berbuat baik dan membantu istrinya. Allah SWT. berfirman dalam surah Al-Nisa ayat 20:
“Dan bergaullah dengan mereka secara baik, karena jika kamu tidak menyukai mereka, maka boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan banyak kebaikan di dalamnya.”
Dalam tafsir ayat tersebut dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Yang terbaik dari antara kamu sekalian adalah dia yang berlaku paling baik terhadap istrinya.” (Bukhari)
Kata-kata ‘Asyirūhunna itu dari ukuran Mufā’alah dan menunjukkan perbuatan timbal-balik; suami dan istri, kedua-duanya, diperintahkan hidup dengan rukun satu sama lain dan cinta mencintai. [1]
Jadi berbeda dengan pandangan umum, pria tidak memiliki kehendak yang bebas untuk memperlakukan mereka sesuai dengan keinginan dan kesukaan mereka terhadap perempuan
Rasulullah saw. memerintahkan para suami untuk memperlakukan para istri dengan baik dan memenuhi hak-hak mereka sepenuhnya yang hal ini berkaitan penuh dengan hak yang dimiliki kaum laki-laki. Perempuan diberi kedudukan yang bermartabat dan terhormat sebagaimana yang digambarkan dengan julukan ibu, istri, anak perempuan, saudari perempuan dan sebagainya. Hak mereka telah diakui untuk pertama kalinya dalam sejarah keagamaan dalam bidang kepemilikan tanah, hak waris, kemerdekaan, pengasuhan anak, persetujuan lamaran, dan penentuan sikap pribadi. [2]
Suatu kali seseorang bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah saw.) mengenai tabiat suaminya di rumah. Beliau menjawab bahwa Rasulullah saw. membantu pekerjaan rumah tangga, menambal pakaiannya sendiri, menisik sepatunya, dan merupakan sahabat yang sangat baik serta penuh kasih sayang.
Hal ini juga ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari:
Aisyah ra. ditanya tentang hal yang biasa dikerjakan oleh Nabi saw. di rumahnya. Maka, Aisyah menjawab, “Beliau biasa melayani kebutuhan keluarganya, namun jika telah tiba waktu shalat, maka beliau berangkat (ke masjid) untuk shalat.”
Bahkan orang-orang non muslim juga mengagumi keteladanan Rasulullah saw. Salah satunya yakni seorang sejarawan di pertengahan abad ke-18 dan juga anggota parlemen, yang bernama Edward Gibbon, ia menulis:
“Rasul Tuhan turut melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar keluarga, ia menyalakan api; menyapu lantai; memerah susu; dan dengan tangannya sendiri memperbaiki sepatu dan pakaiannya. Ia memiliki pola makan seorang Arab yang ketat tanpa usaha atau sia-sia. Dengan kata lain, ia tidak hanya menanggung kasarnya hidup yang keras ini, namun hal tersebut mengalir secara alami baginya. Ia tidak menjalani jalan petapa atau pelenyapan diri, tidak pula ia memalsukan kesederhanaanya agar mendapatkan pujian dari orang-orang. Di saat-saat khidmat, ia menjamu para sahabat dengan makanan yang sederhana dan banyak. Namun dalam rumah tangganya, berminggu-minggu berlalu tanpa nyala api di dapur.”
Kutipan terakhir sangat menyentuh, bagaimana hal tersebut mengingatkan kita pada kesederhanaan yang tiada taranya dan kesucian karakter serta teladan Rasulullah saw. [3]
Ada satu riwayat yang menceritakan, saat dalam perjalanan bersama satu rombongan, Rasulullah saw. berjalan di belakang selama perjalanan. Terdapat seorang perempuan juga di kafilah tersebut. Ketika pengendara unta ingin mempercepat jalannya unta untuk menyusul, Rasulullah saw. mencegah mereka dan bersabda: “Berilah perhatian kepada ‘kristal.’” Riwayat yang menyebut perempuan sebagai kristal ini merupakan isyarat bahwa mereka itu adalah makhluk yang lembut dan sensitif, dan perhatian hati-hati harus diambil terkait dengan kehormatan, martabat, dan posisi yang merupakan hak asasi mereka. [4]
Betapa Rasulullah saw. sangat menghargai kaum perempuan. Tersirat nasehat bahwa kaum laki-laki haruslah menjadi pelindung dan tidak bisa berbuat sesuka hati terhadap perempuan. Demikian pula dalam kehidupan berumah tangga, rumah tangga adalah sebuah kapal yang tengah berlayar. Nakhoda dan awak kapal harus bekerjasama agar kapal bisa berlayar dengan selamat hingga ke tempat tujuan. Pelayaran tidak bisa dilakukan hanya dengan satu kapten tanpa bantuan awak lainnya. Begitupun saat badai menghadang, bila semua awak kapal saling bekerjasama, semua akan dengan mudah terlewati.
Referensi:
[1] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Singkat Ahmadiyah
[2] https://ahmadiyah.id/pesan-mirza-ghulam-ahmad-untuk-masyarakat-kontemporer.html?amp
[3] https://ahmadiyah.id/kedudukan-hadhrat-rasulullah-saw-dalam-pandangan-non-muslim.html?amp
[4] https://www.alislam.org/articles/message-of-the-promised-messiah-for-contemporary-society/
Visits: 55