Dahulukan Mendengar Sebelum Bicara

Sejak media sosial membanjiri jagat maya, setiap orang punya wadah untuk beropini, menyalurkan pikiran dan perasaannya. Karena semua orang kini ‘difasilitasi’ untuk berbicara, tak bisa dipungkiri, kebisingan dan keriuhan menjadi pemandangan sehari-hari. 

Fenomena ini kemudian digambarkan dalam sebuah buku berjudul Death of Expertise—Matinya Kepakaran—yang menjelaskan bahwa kini semua orang mampu merasa dirinya adalah ‘pakar’ segala hal, melebihi pakar yang sebenarnya. Godaan untuk beropini dan merasa seolah-olah diri adalah pakar akan sesuatu—melebihi pakar sebenarnya yang telah mengabdikan diri bertahun-tahun mempelajarinya secara formal—menjadi sangat besar ‘berkat’ media sosial.

Godaan semacam ini juga sangat bisa menyerang kita, bila diri tak dibentengi dengan pengetahuan, kedewasaan emosi, dan kesadaran bahwa tak semua hal harus kita komentari. Dalai Lama pernah menyampaikan kata-kata bijak, “Ketika kamu berbicara, kamu hanya sedang mengulang apa yang kamu tahu; tapi ketika kamu mendengar, kamu mempelajari hal baru.”

Sederhananya, Dalai Lama menggambarkan sekaligus mengajarkan kita akan pentingnya untuk lebih banyak mendengar daripada banyak bicara. Karena dengan mendengar, kita justru akan lebih banyak menerima ilmu baru, pemikiran-pemikiran baru, yang bisa sangat bermanfaat untuk mengembangkan kualitas pemikiran maupun sikap kita.

Sementara dengan banyak bicara, kita hanya mengulang apa yang kita tahu, sebatas apa yang ada di pikiran kita, dan tidak akan menambah pemikiran baru. Keikhlasan untuk mau mendengar menjadi sangat penting di zaman di mana kini semua orang ingin menampilkan dirinya dengan beropini. 

Dalam hal keimanan pun, para sahabat Rasulullah SAW meraih keimanan yang begitu tinggi karena kesediaan mereka untuk mau mendengar. Bahkan mereka bersedia mendengarkan seorang Ummi (buta huruf), Hazrat Rasulullah SAW, yang ternyata menyampaikan kebenaran.

Ini sejalan dengan yang disampaikan Hazrat Al-Masih Al-Mau’ud Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s., “…pendengaran dan akal, cepat membuat manusia siap untuk beriman.” (Malfuzat, jld. V, hlm. 443-445) Keimanan bisa hadir dalam diri kita bila kita bersedia membuka telinga kita lebar-lebar, melapangkan hati dengan luas, dan menggunakan akal dengan sebaik-baiknya untuk bersedia mendengarkan dengan perhatian penuh.

Mendengarkan pun harus dengan perhatian penuh, bukan ala kadarnya ibarat masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Sebagaimana Hz. Masih Mau’ud Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. menyampaikan, “Orang-orang yang lalai dalam masalah iman, dan ketika dijelaskan kepada mereka tetapi mereka tidak mau mendengarkan dengan penuh perhatian, maka betapapun bermanfaat dan berpengaruhnya penjelasan orang yang berbicara itu, tetap saja tidak berguna bagi mereka sedikitpun.” (Malfuzat, jld.III, hlm. 142-143)

Jangan sampai kita menyesal sebagaimana penyesalan orang-orang yang diabadikan dalam Al-Qur’an yang mengatakan, “Dan mereka berkata, “Seandainya kami mendengarkan atau menggunakan akal, kami tidak akan termasuk di antara penghuni api yang menyala-nyala.”” (QS. Al-Mulk 67: 11)

Begitupula dalam hidup, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang kita sesali kelak karena mendahulukan bicara daripada mendengar. Jangan sampai kita hanya mengulang-ulang apa yang kita ketahui—padahal bisa jadi kita sesungguhnya tidak tahu apa-apa—daripada mendapatkan hal-hal baru yang bisa kita pelajari dan bermanfaat bagi kita.

Visits: 316

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories