Kerugian Memiliki Sifat Tamak

Dalam penciptaan seorang manusia, Allah menganugerahi akal pikiran dan hawa nafsu di dalamnya. Sehingga hal itulah yang mampu membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah s.w.t. yang lain. Kelebihan itu akan menjadikan manusia mulia bila ia bisa mencondongkannya untuk meraih keridhaan Allah. 

Namun kelebihan itu pun akan menjadikan manusia lebih hina dibanding makhluk lain, bila dicondongkan pada perkara duniawi yang melalaikan dan menjauhkan dirinya dari Allah s.w.t. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Pada ayat di atas telah Allah s.w.t. jabarkan bahwa nikmat yang Ia turunkan pada manusia, bila tidak dilihat menggunakan kacamata keimanan, akan mengantarkan manusia pada keadaan merugi. Maksudnya adalah bagaimana nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan justru mengendalikan manusia dan menjadikan mereka merasa ingin terus menerus bergelut di dalamnya. 

Alhasil timbullah sikap serakah yang menjadikankan manusia justru kehilangan kendali sekaligus kehilangan dirinya dalam kerugian. Sebagaimana Hadhrat Utsman bin ‘Affan r.a. bersabda, “Tamak merupakan penyakit bagi orang yang tidak mampu kendalikan dirinya.”

Sebenarnya di dalam Islam pun tidak ada larangan untuk mengejar hal duniawi seperti bekerja dan lain-lain, karena pada dasarnya manusia pun memiliki kebutuhan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Namun biasanya manusia lupa dengan tujuan utama dalam hidupnya sebagai hamba dan justru terlena dengan nikmat-nikmat dunia.

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. bersabda, “Seorang yang beriman tidak  perlu  menjadikan  sesuatu  yang  lain  sebagai  tujuannya  karena  tujuan  Tuhan  untuk  menciptakan  manusia  hanya  untuk  beribadah  kepada-Nya.  Pemenuhan  hak  bagi  dirinya  sendiri  adalah  benar  namun  sikap yang tidak tepat adalah tidak benar. Sebab di balik pemenuhan hak-hak diri manusiawi ialah supaya jiwa  mereka  tidak  melemah  sehingga  tersia-siakan.  Kalian  harus  memanfaatkan  hal-hal  ini  untuk  sebab  satu-satunya,  yaitu  memungkinkan  kita  agar  tetap  beribadah  dan  bukan  untuk  menjadikannya  tujuan  hidup.” (Malfuzhat, jilid 5, h. 248-249, edisi 1985, terbitan UK).

Di sini jelas diterangkan bahwa manusia diijinkan untuk memenuhi kebutuhan duniawi hanya sebagai sarana bagi dirinya untuk meraih tujuan hidupnya di dunia ini, yaitu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Ketamakan tak pernah dianjurkan, apalagi menjadi opsi gaya hidup seorang muslim. Karena sebagaimana yang selalu diajarkan dalam Islam, segala hal yang berlebihan tak pernah mendatangkan kebaikan.

Jadi ada baiknya dalam menghindari sikap tamak atau serakah, manusia senantiasa mengingat tujuan penciptaan dirinya yaitu untuk beribadah kepada Allah s.w.t. Dan menjadikan segala nikmat yang Allah s.w.t. berikan sebagai batu pijakan untuk meraih keridhaan Allah s.w.t., bukan sebagai tujuan.

 

Visits: 262

Renna Aisyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *