Keselarasan Tawakal dan Ikhtiar

Tawakal adalah sikap dan ibadah hati yang sangat penting dalam agama Islam. Tawakal menggambarkan perpaduan antara tindakan atau ikhtiar manusia dan keyakinan pada kehendak Allah Swt.

Sikap ini mengajarkan setiap individu untuk berusaha dengan sungguh-sungguh, namun senantiasa tetap merasa tenang juga percaya kepada hasil akhir, dan hasil rencana milik Allah merupakan yang terbaik. Karena manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt. yang penuh dengan ketidaksempurnaan, maka satu-satunya Maha Penolong hanya Allah Swt.

Allah Ta’ala mengajarkan manusia untuk tawakal dengan berfirman, “Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

Sementara Hadhrat Rasulullah saw. mengajarkan, “Tawakallah kepada Allah dengan sepenuh hati dan berusahalah sebaik mungkin. Percayalah bahwa Allah akan memberikan hasil yang terbaik bagi hamba-Nya yang tawakal dan berusaha.” (HR. Ibnu Majah)

Bila tawakal berkaitan erat dengan ikhtiar batin atau berserah diri memasrahkan segala hal kepada Allah Swt, lain halnya dengan ikhtiar. Charles Swindoll pernah mengatakan bahwa, “Hidup adalah 10% tentang yang terjadi pada diriku dan 90% tentang bagaimana aku bereaksi terhadapnya.”

Manusia hendaknya tidak perlu terlalu khawatir dan larut pada kesedihan akibat segala ujian Allah Swt. Justru, manusia harus berikhtiar sekaligus mencari keridhaan Allah Swt. di balik setiap ujian yang menimpanya, mencari titik terang di saat gelap datang menghampiri.

Ada dua fase penting dalam bertawakal kepada Allah Swt. Fase pertama adalah fase usaha atau kerja. Dalam fase ini, kita mesti mengikuti proses alam (sunnatullah). Fase kedua adalah fase ketika kita menunggu hasil. Di fase kedua ini kita harus berserah kepada Allah Swt. dengan sepenuh hati, serta meyakini bahwa apapun hasil dari upaya kita, itu semua tidak terlepas dari taufik dan kehendak Allah Swt.

Inilah semangat yang diajarkan Nabi Muhammad saw. kepada umatnya. Ikhtiar adalah upaya lahiriah yang dilakukan untuk meraih tujuan atau mewujudkan segala sesuatu, tidak diam. Keduanya tak dapat dipisahkan karena saling melengkapi.

Dalam kisah berikut ini, Rasulullah saw. memberi kita contoh lebih dalam mengenai apa dan bagaimana tawakal itu.

Rasulullah saw. hijrah dari Makkah menuju Madinah ditemani sahabat beliau Abu Bakar r.a. pada tahun ke-14 kenabian. Dalam perjalanan tersebut mereka dikejar oleh utusan kaum Quraisy untuk membunuh mereka dengan hadiah 100 ekor unta, kemudian Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga malam.

Namun para utusan tersebut berhasil menyusul mereka, bahkan sudah mencapai mulut gua, seandainya mereka menundukkan kepala ke bawah gua maka sudah terlihat Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a. di sana. Dalam kondisi tersebut, Abu Bakar r.a. sangat khawatir dan gelisah sementara Rasulullah saw. sangat tenang dan berusaha menenangkan sahabat beliau.

Kondisi tersebut direkam di dalam al-Qur’an dengan ungkapan Rasulullah saw. kepada Abu Bakar r.a., “La tahzan! Inna Allah ma’anā.” Jangan bersedih! Sesungguhnya Allah bersama kita. Kisah ini pula yang menjadi sebab turunnya ayat 40 dari surah al-Taubah.

Rasulullah tenang, tidak gelisah dan berusaha menenangkan Abu Bakar r.a. karena pada kondisi tersebut sudah tidak ada lagi upaya yang bisa mereka lakukan kecuali berserah diri kepada Allah Swt.

Dari kisah di atas kita bisa belajar bahwa tawakkal bukan berserah diri kemudian tidak melakukan apapun seperti ayam yang pasrah lehernya untuk dipotong. Rasulullah saw. melakukan upaya untuk menghindari kejaran kaum Quraisy. Setelah segala usaha itu beliau saw. lakukan, sisanya beliau saw. serahkan kepada Allah Swt. Apapun yang terjadi setelahnya, beliau saw. meyakini itulah takdir terbaik dari-Nya. Beliau saw. selalu percaya, Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang mencintai-Nya sepenuh hati.

Inilah tawakal. Ikhtiar tanpa tawakal menjadikan manusia sebagai makhluk yang sombong di mata Allah, sedangkan tawakal tanpa ikhtiar tentulah hal sia-sia karena hanya menyerah dan berpangku-tangan. Dan itu tidak pernah diajarkan Islam dalam kehidupan ini.

Visits: 123

Euis Mujiarsih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *