Tato: Antara Seni dan Penolakan Atas Takdir

Entah harus berucap apa tatkala semakin banyak orang terkenal yang makin ramai memamerkan dan memasyarakatkan tato. Sebagai publik figur yang selalu jadi tontonan akhirnya menjadi tuntunan masyarakat. 

Bagi orang awam, kadang terlihat mengerikan melihat tubuh penuh lukisan seperti itu. Mulusnya kulit polos warna kuning langsat, putih, atau sawo matang tertutup sudah. Berganti dengan kulit yang penuh dengan varian warna dan bentuk.

Kadang, aku bertanya dalam hati, kok tak takut dan tak sayang telah mencoret-coret karya Allah yang sangat indah? Apakah belum terlihat indah apa yang telah Allah ciptakan ini?

Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya:

“Allah melaknat orang-orang yang membuat tato, orang-orang yang minta dibuatkan tato, orang-orang yang mencabut bulu mata, orang-orang yang minta dicabut bulu matanya, dan orang-orang yang merenggangkan gigi untuk mempercantik wajah, dan mereka yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Muslim).

Suatu saat aku naik taksi. Sopir taksi cerita katanya salah satu persyaratan recruitment supir di perusahaan taksi tempat dia bekerja salah satunya adalah tak boleh punya tato atau bekas tato. Keberadaan tato memberikan citra pada diri seseorang.

Tuhan lahirkan manusia dalam keadaan suci bersih dari noda. Bila tubuh penuh tato saat kepulangan kelak kepada sang Pencipta, jawaban apa yang akan kita siapkan saat Tuhan bertanya, mengapa engkau merubah dan menambah-nambah apa yang telah Aku ciptakan?

Dalam pandangan beberapa orang, tato merupakan seni kepuasan jiwa, gambaran ekspresi diri, apresiasi prestasi, lambang keperkasaan, bahkan hukuman. Dulu pernah ada cerita, seorang suami yang cemburuan. Setiap ada satu hal yang terjadi dan membuat suami menilai istrinya tidak setia maka setiap itu pula dia mentato istrinya.

Preman banyak yang tak percaya diri bila tidak punya tato. Pikirnya tanpa tato, orang-orang tak akan takut pada mereka meskipun otot tangannya sebesar gunung. Preman tanpa tato kurang bergigi seolah bagai langit tanpa bintang. Aneh lihatnya. Semakin banyak tatonya maka akan terlihat makin garang.

Wanita cantik, lemah gemulai, sangat halus dan anggun perilakunya. Namun betapa mengejutkan ketika terbuka bajunya terlihatlah ada tato beraneka bentuk yang menurutnya sungguh artistik.

Ketika keliling di dalam kelas mendekati anak demi anak untuk memeriksa hasil pekerjaannya, sungguh mengagetkan. Meskipun mereka dijilbab, ketika tersibak lengannya, terlihat ada ukiran tato. Ketika ditegur katanya, “Ga papa, Bu. Ini tidak permanen kok!” Menyedihkan karena penemuan itu bukan pada satu dua anak saja.

Memang pada akhirnya kitalah yang menentukan akan dibawa seperti apa bentuk tubuh ini. Mau untuk tetap mensyukuri apa yang Tuhan telah beri, atau memodifikasinya menjadi suatu bentuk yang berbeda jauh dari bentuk asalnya.

Bukankah bersyukur atas setiap takdir yang telah Tuhan ciptakan itu lebih baik, ketimbang menggerutuinya, hingga kita memutuskan untuk menafikan takdir yang telah melekat itu?

Visits: 249

Iim Kamilah

2 thoughts on “Tato: Antara Seni dan Penolakan Atas Takdir

  1. Dari:
    “Jangankan melihat tubuh dipenuhi lukisan tato, melihat dinding-dinding jalanan yang penuh coretan saja sangat tak nyaman bagi yang melihatnya.”

    Menjadi:
    “pelukis tato beralih menjadi pelukis grafity saja. Lumayan! Dinding di jalanan jadi terlihat indah dan berseni tinggi.”

    Poinnya tidak align dengan premis awal.
    Sudah di proofreading kah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *