Mendekap Karunia Baiat Karena Kesabaran
Hijrah, menjadi topik yang tidak pernah habis diperbincangkan. Terlebih ketika beberapa aktor/aktris memilih hijrah pada kehidupan yang lebih baik, televisi pun dibanjiri pemberitaan seputar hijrah.
Kata hijrah berakar dari bahasa Arab yang memiliki arti berpindah. Itulah sebabnya, kata hijrah erat kaitannya dengan hidayah, karena sebagian orang menganggap untuk bisa berhijrah/berpindah ke keadaan yang lebih baik, seseorang harus terlebih dahulu mendapat hidayah.
Berbeda dengan proses hijrahnya para aktris yang seringnya meliputi pakaian (dari yang terbuka menjadi syar’i), hijrahku ini mengenai keyakinan. Sebuah perjalanan rohani yang mengharukan ketika terulang oleh ingatan.
Ahmadiyah, menjadi nama yang tidak asing di telinga, terlebih pada tahun-tahun tertentu, di mana pemberitaan di televisi maupun portal online sedang menggembor-gemborkan bahwa aliran Ahmadiyah itu sesat dan ajarannya jauh dari kaidah Islam. Aku yakin tidak ada yang tidak mengetahuinya.
Hanya saja, saat itu hanya fitnahlah yang mendoktrin paradigma orang-orang terhadap Ahmadiyah. Dan aku mungkin menjadi bagian dari orang yang hanya mengandalkan ‘apa kata orang’, tanpa tahu apa dan bagaimana Ahmadiyah yang sebenarnya.
Sampai akhirnya, pada awal tahun 2015 aku mengenal pemuda Ahmadiyah (yang di dalam Jemaat Ahmadiyah laki-laki usia 15-40 dinamai Khuddam) dan kami memutuskan untuk menjalin hubungan. Meskipun selama bersama dengannya aku mempelajari Ahmadiyah, tapi waktu 2 tahun buatku belum cukup untuk mengikis segala keraguan tentang kebenaran ajarannya karena keluargaku tidak ada yang menganut Ahmadiyah sebelumnya.
Tapi dengan penuh kesabaran, ia dan keluarganya perlahan memberitahuku tentang segala hal yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Jika 2 tahun bagiku waktu yang singkat untuk merubah ketetapan hati, namun bagi ia dan keluarganya 2 tahun pastilah merupakan waktu yang sangat lama untuk menanti.
Terlebih aku tahu, di dalam Jemaat Ahmadiyah anggotanya harus menikahi, pun dinikahi oleh sesama anggota Jemaat. Tapi ia dan keluarganya tidak pernah mengeluarkan kalimat yang memaksa untuk aku cepat-cepat ikut memeluk keyakinannya.
Aku tersentak ketika hati kecilku begitu antusias dengan ajaran serta kegiatan-kegiatan Ahmadiyah yang diceritakan oleh keluarganya. Mungkin karena kesabaran dan keta’atan mereka pada pemimpinnya, menjadikan setiap kata yang diucapkannya menggetarkan hati, menularkan karunia-Nya. Aku berniat untuk menelaahnya lebih dalam, keseharianku saat itu tidak lepas dari mempelajari Ahmadiyah.
Setelah 1 tahun serius mempelajarinya, dari mulai membaca di situs resmi, menonton video di kanal Youtube, aku memantapkan hatiku untuk bai’at dengan terus berdo’a dan memohon untuk diberikan petunjuk bahwa pilihanku ini yang terbaik.
Ketika keputusanku untuk menjadi murid Imam Mahdi sudah bulat, akhirnya aku memutuskan untuk bai’at sebelum menikah pada tahun 2019. Aku ingin keputusanku untuk masuk ke dalam bahtera Jemaat ini bukan semata-mata karena aku ingin dinikahi olehnya saja, melainkan karena hati saya yang memilihnya.
Ibu dan adikku pun tidak kaget dengan pilihanku ini, karena ketika mendapat ilmu baru tentang Ahmadiyah, selalu aku sampaikan pula kepada mereka.
Hanya saja ada tetangga yang ketika mengetahui aku bai’at, ia melontarkan kalimat, “Dhea! Kok kamu mau sih masuk Ahmadi? Ahmadi kan sesat, lihat di TV juga banyak beritanya. Ngapain masuk Ahmadi!”
“Enggak, kok. Shalat dan ngajinya pun enggak beda dari Islam lainnya, enggak ada yang beda antara Ahmadiyah sama Islam lain kecuali Ahmadi sudah percaya akan adanya Imam Mahdi”, aku menimpali kalimatnya.
Singkat cerita, aku dan khuddam tersebut menikah. Perjalanan pernikahan kami dihujani begitu banyak cobaan yang mungkin akan orang-orang kaitkan dengan pilihanku ini. Dari mulai kurangnya ekonomi hingga yang paling berat; 3 kali Allah titipkan buah hati pada rahimku, tapi 3 kali pula Allah mengambilnya.
Selama cobaan itu datang silih berganti, kami tidak pernah luput dari rasa sabar dan melapangkan hati, mencoba untuk saling menguatkan satu sama lain sambil terus berkhidmat pada Jemaat walau dengan cara yang berbeda. Karena jarak rumahku dengan masjid sangat jauh, sehingga aku baru bisa berkhidmat melalui media ponsel.
Alhamdulillah, Teh Imas (salah satu pengurus Lajnah Imaillah di cabangku) tidak pernah absen dalam memberitahu dan mengirimkan serangkaian tugas-tugas yang harus aku kerjakan sebagai seorang Lajnah. Seperti mengisi kuis Khutbah, mengikuti Jalsah Salanah virtual, mengirim surat pada Huzur, merangkum buku, dsb, walaupun aku mengikutinya di rumah.
Aku merasa sangat beruntung menjadi bagian dari Jemaat-Nya ini, aku merasakan banyak perubahan yang baik pada diriku. Aku merasakan cinta seorang Khalifah yang mengalir deras untuk semua pengikutnya.
Terbukti dari perhatiannya beliau melalui link perorangan (sebuah kuesioner evaluasi kegiatan bulanan) yang dikhususkan untuk menjadi refleksi perbaikan, agar setiap bulannya kami selaku Lajnah semakin melangkah maju dalam merevolusi diri menuju Lajnah berakhlak tinggi.
Sebagaimana fatwa Hz. Mirza Masroor Ahmad aba pada Jalsah UK beberapa pekan lalu, “Jika kita tidak berupaya sekuat tenaga untuk revolusi diri, berarti bai’at kita tidak ada artinya. Janji kita hanya kosong belaka, dan kondisi kita patut dikhawatirkan.”
Aku memohon do’a dari semua, semoga aku bisa menjadi Lajnah yang senantiasa selalu ita’at, agar menjadi magnet yang dapat menarik orang-orang terkasihku ikut serta ke dalam bahtera Jemaat ini. Juga, aku memohon do’a agar Allah ridho menitipkan kembali buah hati yang bisa menemaniku hingga tua nanti, aamiin yaa Allah.
.
.
Editor: Nurul Hasanah
Visits: 231
Mantap cerita dan pengorbanan serta perjuangannya.
Semoga Allah swt memberikan kekuatan kepada ibu dea dalam mengarungi samudera Jemaat Ahmadiyah, karena orang ahmadi yang sudah bai’at kepada Masih Mau’ud selalu mendapat cobaan dan rintangan.
Semoga ibu Dea menjadi ahmadi yang mukhlis
Aamiin
Wassalaam
Oman Menir
Sanding Garut