RAMADHAN, MASIH BISAKAH KITA BERJUMPA?
Bulan suci bagi umat Islam segera menjelang. Sepatutnya kita sambut dengan bahagia meskipun wabah belum beranjak pulang. Alih-alih mereda, sebaran virus corona justru kian merajalela. Bukan hanya masyarakat sulit, bahkan puluhan tenaga medis pun ikut terjangkit. Wajar rasanya sebagian orang memberontak karena kondisi yang tak pasti. Namun iman, haruslah menjadi benteng akhir sebuah harapan.
Menjelang Ramadhan ini, setiap negara melancarkan strateginya masing-masing untuk memerangi coronavirus. Mereka yang taat kepada pemerintahnya saja, belum tentu bisa meredakan sebaran virus ini seketika. Maka berpikirlah, bagaimana jika kita terus-menerus meninggikan kesombongan karena ketidaksepahaman dengan langkah-langkah pemerintah?
Mungkin, tidak akan ada lagi pawai ‘warak ngendog’ atau ‘dhug-dher’ di Kota Semarang sebagai pawai khas di H-1 Ramadhan. Atau entah apakah masih bisa masyarakat tatar sunda menggelar ‘munggahan’ karena ngaliwet kurang nikmat kalau sendirian. Belum lagi ritual-ritual seperti salat tarawih dan tadarus yang tidak mungkin dilakukan oleh banyak jemaah di masjid, atau pesantren kilat yang hampir pasti ditiadakan.
Namun apakah betul, dengan ditutupnya jalan-jalan maka tertutup pula jalan rezeki dari Allah? Apakah benar dengan dibatasinya pergerakan kegiatan maka terbatas pula curahan karunia dari langit?
Wahai, orang-orang baik. Tidak ada satu hal pun yang terjadi dalam setiap jengkal napas kita, yang tidak bisa kita petik nilai kebaikannya. Terlebih, sebagai Ahmadi yang harus selalu taat kepada nasihat khalifah kita tercinta. Huzur mengawali anjurannya ketika wabah ini belum terlalu merebak, bahwa adanya virus ini bukanlah sebuah tanda dari Tuhan, sebagaimana wabah pes yang terjadi pada masa lampau.
Huzur bahkan menebar instruksi untuk taat kepada anjuran pemerintah setempat. Terjangkitnya seseorang oleh virus ini, bukanlah tanda baik-buruknya keimanan seseorang. Bahkan, pada salah satu khutbahnya, Huzur menasihati para Ahmadi tentang kekuatan doa yang bisa mengubah takdir, namun di saat yang sama, setiap hisab akan tetap bergantung kepada amalan masing-masing individu.
Pesan yang disampaikan oleh imam rohani Jemaat Ahmadiyah ini, sejatinya adalah sebuah ajakan tafakur lebih dalam. Bahwa hidupnya seorang manusia, tidak lepas dari adanya campur tangan Sang Mahapencipta, yang sangat bisa untuk menghadirkan makhluk-makhluk lainnya.
Allah Ta’ala menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna, namun pada lain hal, semua harus sirna oleh makhluk kecil bernama virus corona. Inilah makna bahwa tak ada satu titik pun di dalam kehidupan kita yang patut kita sombongkan.
Kesempurnaan kita sebagai manusia, seharusnya membawa kita lebih tunduk kepada perintah-perintah Allah Ta’ala. Jika tidak, maka cukuplah bagi Allah mengutus sekelumit makhluk untuk membinasakan semuanya.
Taat kepada Allah, tanpa tapi tanpa nanti, berarti harus tunduk kepada semua perintahNya. Termasuk taat kepada perintah manusia sekalipun, manakala manusia itu memang memiliki kewenangan dan kewajiban untuk mengatur sekelompok masyarakat. Kehidupan seorang manusia, seharusnya adalah pelajaran untuk senantiasa bergandengan bersama, saling menghormati, menghargai pendapat, mendengarkan nasihat, yang semuanya adalah manifestasi dari kata ‘taat’.
Ramadhan, adalah sebaik-baik ‘bulan pendidikan’ rohani yang sangat kita tunggu kedatangannya. Namun dengan kondisi semacam ini, sejenak terhenti langkah kita untuk memakmurkan masjid melebihi bulan-bulan biasanya. Maka kembali merenunglah, bahwa ketaatan kepada Sang Khalik yang kita terapkan dalam bentuk ibadah, seharusnya kita lakukan di setiap waktu dan tempat, bukan hanya ketika berada di masjid kala Ramadhan.
Tidak sedikit orang yang berdoa sangat panjang ketika berada di masjid, namun hancur kembali karena ghibah yang mereka lancarkan sesaat setelah keluar masjid.
Tak sedikit orang yang menghabiskan waktunya di masjid ketika Ramadhan, namun kembali kepada kemaksiatan sehari setelah lebaran.
Maka, ukuran ketaatan dalam ritual ibadah, sebenarnya bukan dilihat kepada masjid atau bulan Ramadhan, melainkan bagaimana individu tersebut tetap taat kepada nasihat dan aturan pada kehidupan sehari-harinya.
Ramadhan akan tiba dalam beberapa hari. Sampai manakah kita mempersiapkan diri? Bulan suci yang sebentar lagi akan tiba, tanpa ada yang bisa menjamin apakah kita pun akan bisa berjumpa dengan kemuliaannya. Tidak cukupkah kabar-kabar tersebar tentang kematian, sehingga untuk taat dan bertobat saja kita masih harus menunggu Ramadhan.
Visits: 21