Rela Dibenci Daripada Harus Terjebak Riba

Setelah menikah, saya dan suami tinggal dengan mertua. Walaupun begitu, saya selalu mandiri, memasak dan lain-lain sendiri. Saat itu, suami bekerja di sebuah perusahaan leasing motor. Di suatu ketika ada beberapa orang datang dan menagih hutang. Saya bertanya dalam hati, ‘Kok suami nggak ngomong? Di pernikahan yang baru beberapa bulan saja saya mulai, kok gini? Hutang buat apa, ya?’

Saya pun akhirnya bertanya ke suami, “Ini kenapa? Kok banyak hutang? Saya kan tidak pernah memakan uang sebesar yang ditagih para penagih hutang tersebut?” Suami akhirnya menceritakan bahwa selama bekerja di leasing, ada beberapa orang yang mengkredit motor dan tidak mau bayar. Kalau tidak bayar, dia takkan bisa survey dan tidak akan dapat gaji. Jadi dia berhutang dan uangnya dipakai untuk menutup angsuran konsumen. Mana pada sebagian konsumen, motor sudah tidak ada, orangnya pun hilang.

Saya pun menggelengkan kepala, “Kok mau bertahan di perusahaan yang kaya begini? Menggali lobang sendiri saja. Sudah keluar saja! Lebih baik diam di rumah, daripada bekerja tapi hanya bikin hutang dan bikin pusing.” Akhirnya berhentilah suami bekerja. 

Saya mulai berjualan. Baru di kota orang, tempat tinggal suami, saya menawarkan ke warung-warung. Saya jual agar-agar gula merah asli. Awalnya malu, tapi lama-lama terbiasa. Alhamdulillah hasil jualan ini bisa mencukupi segala kebutuhan hidup. Sambil menunggu suami dapat kerja yang baru.

Jujur tidak mudah bagi saya, apalagi saya sedang hamil pula. Yang seharusnya sebagai ibu hamil, saya banyak diperhatikan, tidak stress, tapi saya harus jadi tulang punggung. Ya mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dihadapi saja. 

Singkat cerita suatu hari, entah terhasut setan dari mana, suami tiba-tiba menanyakan KK dan KTP saya. Saya tanya buat apa, dia tidak menjawab. Mungkin sudah begitu kebingungan dengan hutang yang menumpuk dan teror dari orang-orang yang menagih, baru sampai rumah sudah minta saya tandatangan sesuatu. Saya tanya, “Sebentar, saya tidak bisa tandatangan. Apa maksudnya minta tandatangan? Jelaskan dulu maksudnya?”

Ternyata suami bermaksud mau pinjam uang. Temannya suami mau pinjam nama suami untuk pinjam uang pakai BPKB mobil. Dia butuh tandatangan saya untuk persetujuan, nanti saya akan dikasih upah dari atas nama tersebut, dan suami pun dikasih pinjam uang untuk membayar hutang-hutangnya. Saya langsung menolak, saya tidak akan mau tandatangan untuk masalah riba.

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang memakan riba, mereka tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dirasuk setan dengan penyakit gila. Hal itu karena mereka berkata, “Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba”, padahal Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah 2: 276). Selanjutnya, Allah SWT berfirman, “Allah akan menghapuskan riba dan mengembangkan sedekah-sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang pekat dalam kekafiran lagi berdosa.” (QS. Al-Baqarah 2: 277)

Di dalam QS. Ar-Rum 30 ayat 40, Allah SWT berfirman: “Dan apa yang kamu berikan untuk memperoleh riba, supaya bertambah banyak pada harta manusia, padahal harta itu tidak bertambah banyak di sisi Allah, tetapi apa-apa yang kamu berikan sebagai zakat dengan menginginkan keridhaan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang akan bertambah hartanya berlipat ganda.

Menurut hadits, Rasulullah SAW tegas melarang riba: “Rasulullah SAW mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya sama (berdosa).” (HR Muslim)

Saya sudah sedikit memberi pengertian tentang riba terhadap suami, tapi dia tidak terima bahkan langsung pergi ke ibunya. Dia meminta ibunya bersedia membubuhkan namanya untuk pinjaman temannya tersebut dan ibunya mau terbujuk.

Jujur, saya pun butuh uang, sangat butuh. Tapi saya lebih takut atas murka Allah terhadap saya. Saya sudah menyampaikan sedikit ilmu tentang riba tapi suami tidak mendengarnya karena suami sudah begitu kebingungan, sehingga menghalalkan segala cara asal bisa menutupi segala kebingungannya.

Maka, terjadilah transaksi dengan atas nama ibu mertua. Jujur, hati saya terasa hancur dan sakit karena tidak bisa melarang transaksi tersebut. Ibu mertua juga sempat marah kepada saya selama beberapa hari, entah berapa hari. Saya tawarkan makan dan bertanya, beliau tidak pernah menjawab, malah membuang muka. Tapi saya hanya menangis dalam hati dan saat bersujud di hadapan Allah SWT. Bagi saya, lebih baik dibenci manusia daripada kena laknat Allah SWT.

Walaupun harus menjalani hidup yang penuh penderitaan akibat segala keputusan yang selama ini saya ambil, tidak pernah terpikirkan untuk jauh dari Jemaat yang saya cintai. Begitu parahnya perekonomian saya dulu, saking inginnya bisa pergi  Jumatan, saya berjualan sewaktu habis sholat Jum’at. Jualan dibawa ke tempat Jumatan di Kawalu, tepatnya di panti. Candah tak pernah saya tinggalkan walau bagaimanapun menderitanya saya.

Saya bersyukur sekali karena menjadi murid Imam Mahdi itu selalu diberikan kekuatan, kemudahan dan kemampuanyang tak pernah kuduga, bahkan di luar nalar kita sebagai umat manusia. Hari-hari penuh dengan kesedihan tapi penuh dengan semangat meski hamil sudah 9 bulan, terus berjuang berjualan tanpa menyerah. Hasil berjualan ditabung sebagian untuk biaya lahiran.

Saya hanya memiliki waktu tidur beberapa jam saja. Di saat orang lain terlelap tidur, saya sudah terbangun. Sebelum melakukan aktivitas di pagi hari, saya bangun jam 3 pagi kemudian melaksanakan sholat tahajud. Kemudian lanjut lagi aktivitas menyiapkan jualan untuk dititip ke warung-warung, kantin, dan rumah makan. Itulah aktivitasku.

Sewaktu mau melahirkan, sehabis pulang ambil-ambil wadah agar-agar, tiba-tiba saya sakit perut. Saya merasa sepertinya mau melahirkan. Sempat galau HB saya rendah sekali, bidan pun tak mau menerima untuk persalinan. Katanya saya harus ke rumah sakit, tapi begitu mulas saya ajak suami ke puskesmas saja. Akhirnya melahirkanlah saya di puskesmas. Dalam doa saya memohon perlindungan kepada Allah SWT dengan penuh keyakinan, pasti Allah akan memberikan keajaiban terhadap saya.

Kalau kasus HB rendah itu, melahirkan memiliki resiko cukup tinggi, bisa menyebabkan kematian ibu dan anak. Tapi saya berkeyakinan dan berdoa. Saya baca doa-doa keselamatan, dan tak lama kemudian lahirlah anak pertama dengan segala kelancaran. Alhamdulillah.

Baru 18 hari pasca melahirkan saya sudah memulai berjualan lagi. Apa boleh buat, karena kebutuhan. Para penagih hutang masih berkeliaran, sampai anak saya yang kedua trauma karena suara pintu digedor-gedor. Mereka menagih hutang yang mengatasnamakan ibu mertua saya yang tempo hari disuruh tandatangan.

Pada akhirnya saya beranikan diri untuk menghadapi para preman penagih hutang. Saya dicaci maki, dimarahi, dikatakan sekongkol lah dan lain-lain.  Sampai-sampai mesin combro mau diambil. Saya bilang, “Silakan ambil mesin itu tapi kamu memutuskan kehidupan keluarga saya.” Akhirnya mesin parut pun tidak dibawa. 

Selama bertahun-tahun saya harus melunasi hutang. Tapi saya hadapi saja, dan jadi pelajaran berharga untuk tidak terlibat dengan riba. Hadapilah para penagih dan bayarlah hutang semampunya. Jelaskan kepada para penagih dengan sebaik-baiknya, jangan ambil jalan pintas seperti yang dilakukan suami saya.

Riba itu ternyata menyiksa, keluarga pun ikut jadi sengsara. Berhentilah terjerat riba. Allah pasti akan memberikan jalan yang jauh lebih baik.

.

.

Penulis: Heni Herani

Editor: Lisa Aviatun Nahar

Visits: 382

Heni Herani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *