FATWA HARAM DAN REAKSI NETIJEN JULID WARGA +62

Netijen julid negeri +62 seolah tak pernah kehabisan bahan untuk berekspresi. Kini, giliran Ustad Somad yang jadi bulan-bulanannya.

Tertulis sebuah status yang kira-kira begini, “Allah haramkan babi, anjing dan makanan najis lainnya, selebihnya (ustad) Somad yang haramkan.”

Sarkasme ala netijen julid negeri +62 kadang keterlaluan. Tapi disisi lain, selalu ada saja sajian-sajian unik yang mengocok perut saat membacanya. Seolah bangsa ini tidak pernah kehabisan lelucon.

Dulu, di jagat twitter. Pernah muncul akun-akun “garis lurus” yang twit-twitnya lurus enggak ada mengkol-mengkolnya. Keras, saklek, dan melulu soal kebenaran yang absolut.

Hingga muncullah akun-akun “garis lucu” yang melakukan kesetimbangan. Lahirnya komentar-komentar julid netijen +62 sekarang, sangat dipengaruhi oleh akun-akun garis lucu ini.

Itulah mungkin yang tak dimiliki oleh anak-anak muda HongKong yang rajin turun ke jalan tapi tak diimbangi oleh narasi-narasi julid yang sarat bebodoran juga dagelan.

Seberapapun kelompok “bela anu” turun ke jalan, minta ini, minta itu, kuasai jalan, kencing sembarangan. Netijen julid yang didominasi anak-anak millenial selalu punya reaksi unik menanggapi gerakan seserius “bela anu”.

Itulah yang kadang membuat para provokator baik yang di lapangan maupun yang di medsos berpikir ulang. Sebab, harapan mereka yang menginginkan emosi warganet meningkat, yang terjadi justru sebaliknya.

Ustad Somad, beginilah resiko mengusik kedamaian warganet dengan manuver fatwa anda yang mengiris-iris hati mereka.

Warganet pecinta drakor bagaimana tak naik pitam, saat anda katakan bahwa drama korea itu haram. Kalau drakor haram, bagaimana dengan sinetron-sinetron azab yang bukannya mendekatkan emak-emak kepada Allah, tapi malah menanam bibit benci yang berlebihan ke pemeran antagonisnya?

Mulailah berseliweran di rimba maya nyinyiran julid dari para pecinta drakor garis keras. Mereka meluapkannya dalam berbagai ungkapan yang sarat nyinyir. Misalnya, “Ah… ustad somad bilang aja kalah ganteng sama Lee Min Ho.”

Kini, catur pun diharamkan ustad Somad. Padahal, betapa nikmatnya saat tangan kanan mulai memainkan bidak-bidak satu-dua langkah. Tangan kiri sesekali mengantarkan secangkir kopi untuk diseruput. Dan sebatang udut menjadi pelengkapnya.

Perpaduan antara nikotin dan kafein dalam suatu takaran yang acak memberikan stimulus positif ke otak untuk merangkai strategi jitu meng-skak mat lawan.

Gambaran kenikmatan tersebut hanya bisa  dijumpai di kantor RW dan pos ronda yang berisi aki-aki dengan bau balsem geliga yang menyengat. Itulah gambaran, bagaimana bermain catur telah menjadi gejala sosial yang telah mendarah daging di masyarakat kita.

Ini bukan lagi soal betapa permainan tersebut sangat membuang-buang waktu. Ini adalah soal hiburan yang bisa menyatukan banyak orang dalam satu meja.

Yang main memang dua orang, tapi yang nonton kadang se-RT. Dan semua saling gregetan. Ada yang berteriak dalam hati, makan kudanya. Ada juga yang kasih kode, skak-ster, meski dengan berbisik ke penonton yang lain.

Se-greget itu catur dalam masyarakat kita. Tentu, fatwa haram dari ustad Somad sangat melukai hati aki-aki yang permainan di akhir-akhir hidupnya cuma itu.

Saya pernah hobi main catur. Punya banyak buku tentang catur. Sesekali ikut kejuaraan di sekolah. Butuh lingkar otak yang lebih untuk memahami berbagai strategi mengalahkan lawan.

Sehingga, saya beranggapan catur bukan cuma soal membuang-buang waktu dalam diam. Tapi, sebuah permainan olah pikir yang mendaya-gunakan kecerdasan tertentu dari otak.

Tapi. Ritme kehidupan manusia selalu berubah. Beragam aktivitas kehidupan silih berganti datang dan pergi. Sudah tidak ada waktu lagi nongkrong di kantor RW menonton kejuaraan catur paling bergengsi antar penghuni RW 01.

Sampai akhirnya, saya sudah tidak menikmati lagi bau aromatik dari balsem geliga yang sangat khas saat sesepuh-sesupuh komplek berduel merebutkan sebatang rokok kretek djisamsoe.

Bagi saya, masalah catur bukanlah masalah yang besar hingga harus keluar fatwa haram atasnya. Tidakkah masih banyak lagi permasalahan bangsa ini yang lebih besar dari drakor juga catur?

Contohnya, memupuk toleransi antar umat beragama. Atau, memupuk rasa saling menghormati antar keyakinan. Atau, bagaimana memupuk cinta kepada tanah air, tumpah darah kita.

Sungguh, kita adalah bangsa yang kurang piknik, jika cuma mengurusi soal drakor dan catur saja.

 

Visits: 35

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *