LEBARAN, TRADISI DI BALIK IDUL FITRI (bag 2)

Hari raya Idul Fitri, adalah puncak perayaan kemenangan setelah menghadapi kawah candradimuka bulan Ramadan. Ujian dan cobaan saat berpuasa yang berhasil dilewati, selalu dirayakan ketika tiba hari raya dengan berbagai sajian makanan. Hal ini merupakan tradisi tambahan yang selalu hadir di saat lebaran, sebutan akrab untuk Idul Fitri di Indonesia.

Lebaran atau perayaan Idul Fitri, memang identik dengan beberapa sajian makanan khas yang beragam di berbagai daerah yang berbeda pula. Namun, sebuah sajian yang wajib hadir yaitu ketupat. Makanan serupa lontong atau rebusan beras yang dibentuk dengan selongsong yang terbuat dari anyaman janur atau daun kelapa. Ketupat umumnya berbentuk segi empat. Bukan tanpa alasan, tradisi masyarakat ini pun penuh dengan makna mendalam.

Penulis mengambil sebuah pemaknaan ketupat dalam bahasa Jawa, yang sering disebut kupat berarti ngaku lepat, atau pengakuan kesalahan. Segendang sepenarian dengan makna hari raya Idul Fitri itu sendiri, di mana kita kita diminta untuk menebar maaf seluas-luasnya, selain merendahkan hati ini atas segala khilaf lisan dan perilaku.

Kupat atau ketupat umumnya berbentuk segi empat. Hal ini pun sebagai simbol kiblat papat lima pancer, yang memiliki makna empat arah mata angin dengan satu pusatnya. Artinya, kemanapun manusia mengarahkan jalan hidupnya, sebaiknya semuanya harus mengingat dan kembali kepada pusatnya, yaitu Allah azza wa jalla. Begitupun sebaliknya, sang pusat Maha Mengendalikan ini pun sejatinya tidak akan lepas dari arah langkah yang dipilih oleh setiap insan.

Ketupat dibuat dengan menggunakan selongsong yang dianyam demikian rumit. Kerumitan ini, tak lain adalah gambaran carut-marutnya kehidupan manusia yang mencerminkan banyaknya khilaf dan salah. Namun setelah ketupat matang dan diiris, maka terlihatlah warna putih hasil rebusan beras tadi. Itulah lambang kesucian diri serta kebersihan hati dari jiwa yang mendapat sinar ilahiah setelah keruwetan hati ini “direbus” ketika kita berpuasa Ramadan. Selain itu, anyam-anyaman juga merupakan simbolisasi penguatan jasmani dan rohani.

Selongsong janur, berasal dari kata sejatine nur atau cahaya sejati. Dalam makna lebih luas, hal ini berarti pancaran keadaan suci manusia. Ditambah lauk pelengkap yang umumnya berkuah santen (santan -pen), bermakna samudraning pangapunten atau samudera maaf yang diberikan dan ditebarkan untuk sesama.

Di luar masalah tradisi di masyarakat kita, bagaimana arti dan makna kata Idul Fitri? Apakah memang ada kaitannya dengan makan?

Jawabannya, ya! Selain tujuan ketakwaan dari kewajiban berpuasa, kata Id juga berdasar dari kata aada-yauudu yang berarti kembali, dan fitr yang berarti buka puasa untuk makan. Kata fitri berdasar pada akar kata ifthar (sighat mashdar dari aftharo – yufthiru). Ditambah lagi dengan sebuah hadis baginda nabi salallaahu alaihi wasallam “Dari Anas bin Malik: Tak sekalipun Nabi Muhammad salallaahu alaihi wasallam pergi (untuk salat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya.” Dalam riwayat lain: “Nabi Salallaahu alaihi wasallam makan kurma dalam jumlah ganjil.” (HR. Bukhari)

Dengan demikian, ada makna perayaan Idul Fitri untuk kembali makan (berbuka) setelah melewati puasa sebulan penuh. Oleh karenanya, disunahkan untuk makan minum walaupun sedikit sebelum berangkat menuju salat Id. Hanya saja, tidak harus dengan ketupat, karena nabi mencontohkan dengan kurma.

Namun demikian, pemaknaan Idul Fitri sebaiknya tidak selesai hanya dengan makanan. Karena ada pula kata fitri yang berarti suci, bersih dari segala dosa dan keburukan, berdasarkan akar kata fathoro-yafthiru. Dalam konteks ini, Idul Fitri berarti kembali kepada asal mula kejadian, layaknya bayi yang baru lahir yang belum memikul dosa. Tentu saja, setelah kita melakukan ibadah pusasa di bulan puasa dengan sebaik-baiknya, dan dengan niat lillaahi taala.

Di tengah wabah yang melanda, perayaan Idul Fitri jangan menjadi titik balik kepada keburukan karena ego semata. Melalui kecanggihan teknologi, kita masih bisa menjaga silaturahmi. Jangan karena ingin bertegur sapa secara fisik, namun di saat yang sama kita membuat wabah virus ini semakin pelik.

Ied Mubarak. Taqobalallaahu minna wa minkum.

Visits: 52

Rahma A. Roshadi

1 thought on “LEBARAN, TRADISI DI BALIK IDUL FITRI (bag 2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *