MELAWAN STIGMA, MELAWAN KORONA

Siang itu, 24 April 2020, Nia harus masuk ruang karantina, bersama suaminya. Nia dan suaminya termasuk dari 112 tenaga medis di kota Bontang, Kalimantan Timur, yang harus menjalani rapid test, dan termasuk dari sebagian yang harus dikarantina.

Bayinya yang masih kecil dan bergantung pada ASI, terpaksa harus ia tinggalkan sementara. Nia terpaksa menitipkannya pada orangtuanya.

Perih, orangtua mana yang tak merasakannya, bila harus meninggalkan sang permata. Tapi hal ini terpaksa dijalani, demi keselamatan nyawa lebih banyak lagi.

Cerita semacam ini, di mana puluhan bahkan ratusan tenaga medis yang terpaksa diisolasi, mulai banyak menyeruak ke permukaan.

Ketidakjujuran pasien mengenai riwayat perjalanannya, menjadi awal permasalahan.

Tetapi sebenarnya, ketidakjujuran ini bukanlah ujung pangkal persoalan.

Mereka memilih diam atau menolak untuk jujur, karena takut akan stigma yang telah melekat di masyarakat.

Mereka takut dijauhi, dikucilkan, dirundung, atau lebih parah lagi, ditolak keberadaannya sehingga harus terusir dari rumahnya sendiri.

Berita-berita penolakan masyarakat terhadap tenaga medis yang merawat pasien korona atau bahkan jenazah positif korona, banyak menghiasi media kita sehingga menambah parahnya stigma.

Kini, ketidakjujuran mereka mulai menuai korbannya. Di berbagai daerah, puluhan bahkan ratusan tenaga medis harus dites dan dikarantina. Beberapa rumah sakit pun harus ditutup dan tak bisa menerima pasien untuk sementara.

Padahal rumah sakit adalah tumpuan kita.

Kalau ini dibiarkan terus menerus, korban korona akan semakin banyak berjatuhan. Dan durasi pandemi akan semakin panjang. Semakin banyak masyarakat yang jatuh dalam lubang kemiskinan. Dan sederet akibat-akibat buruk lainnya yang tak berkesudahan.

Kita, dan juga para pemimpin daerah, harus saling bekerjasama agar masyarakat tak terus menerus dihujam stigma semacam ini. Caranya, melalui edukasi.

Mereka yang memegang jabatan birokrasi hingga pejabat RT setempat, harus dipastikan mendapat informasi edukatif mengenai apa dan bagaimana virus ini bekerja.

Para ketua RT ini akan menjadi tumpuan informasi bagi warganya. Kalau ia tak teredukasi dengan sebaik-baiknya, mustahil untuk bisa menghilangkan stigma ini di antara warga.

Jangan lagi ada kasus Ketua RT yang justru bekerjasama dengan oknum warga menolak jenazah seperti yang terjadi di Semarang beberapa waktu lalu.

Edukasi para pejabat, edukasi masyarakat. Gunakan semaksimal mungkin platform yang paling akrab, yaitu Facebook dan WhatsApp. Keduanya masih diandalkan sebagian besar masyarakat kita, sebagai sumber informasi mereka.

Kita yang masih bisa tenang di rumah saja, bisa turut berpartisipasi melawan stigma. Dengan menyebarkan informasi yang akurat, juga edukatif, kepada masyarakat.

Lakukan semua ini secara terus menerus, tanpa henti. Karena memang kunci dari edukasi adalah repetisi.

Edukasi tak bisa hanya sekali jadi. Ia pekerjaan berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun.

Kita terus tanamkan rasa empati dan kasih sayang, sehingga tak perlu ada makhluk yang harus merasa seperti orang terbuang.

Kita inginkan pasien untuk jujur, tapi kita jauhi dia, kita kucilkan dia, kita usir dia dari rumahnya. Tindakan kita itulah yang justru menjadi alasan utama bagi orang lain untuk berpikir bahwa kejujuran akan menghancurkan mereka.

Nabi SAW bersabda saat haji wada’, ‘Maukah kalian kuberitahu pengertian mukmin? Mukmin adalah orang yang memastikan dirinya memberi rasa aman untuk jiwa dan harta orang lain. Sementara muslim ialah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain. Sedangkan mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam keta’atan kepada Allah SWT. Sedangkan orang yang berhijrah (muhajir) ialah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.” (HR. Ahmad)

Jangan sampai kita menjelma jadi manusia tanpa nurani, tanpa empati tanpa rasa saling mengasihi.

Rasulullah Saw. bersabda, “Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim]

Tenaga medis kita adalah garda terakhir kita. Dia adalah kiper dalam sebuah tim sepakbola.

Bila kiper tidak ada, seberapapun kerasnya pemain lain berjuang, akan sulit untuk menahan bola dari gawang.

Karenanya kita pun ikut bertanggungjawab menyelamatkan mereka.

Rasulullah Saw. bersabda, “Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” [Shahih Muslim No.4684]

Kita harus bisa mencontoh masyarakat di Maguwoharjo Sleman Yogyakarta yang memberikan kata-kata semangat pada warganya yang dijemput karena positif korona. Atau seperti masyarakat Desa Tunggari, Tulungagung Jawa Timur yang menyambut gembira kepulangan tenaga medis yang sembuh dari korona.

Semoga berita-berita semacam ini semakin bertebaran. Sehingga kita bisa selalu menumbuhkan harapan.

Dengan melawan stigma, insyaallah bersama-sama kita semakin kuat melawan korona.


Sumber:
https://www.liputan6.com/regional/read/4237378/akibat-pasien-berbohong-112-tenaga-kesehatan-di-bontang-ikuti-rapid-test 
https://selasar.co/read/2020/04/25/1484/beredar-pesan-wa-60-tenaga-medis-bontang-dikarantina-ini-kata-dinas-kesehatan
https://jogja.suara.com/read/2020/04/23/062819/viral-warga-maguwoharjo-semangati-pasien-diduga-positif-corona
https://www.liputan6.com/surabaya/read/4236713/dukungan-warga-tulungagung-kepada-tenaga-medis-sembuh-dari-corona-covid-19

Visits: 25

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *