REACHING FOR THE STARS : WAWANCARA BERSAMA ILMUWAN SENIOR DI PFIZER DR. NUSRAT SHARIF (Bagian 2)

Diterjemahkan oleh: Renna Aisyah

Dr. Nusrat Sharif bekerja sebagai Imuwan Senior Utama di Unit Peradangan & Imunologi Pfizer Inc, at Cambridge, MA. Beliau meraih gelar PhD pada bidang Imunologi Molekuler di City University of New York dan gelar doktor di bidang Imunologi & Peradangan dari Rumah Sakit untuk Bedah Khusus (Weil Medical Colledge of Cornell University) di New York. Sekarang beliau menjabat sebagai Presiden Asosiasi Ilmuwan Wanita Ahmadi, Amerika Serikat dan Wakil Presiden Wanita Cabang Ahmadi (Lajna) setempat di Boston. Beliau telah menikah dengan Dr. Karim Sharif dan memiliki empat orang anak. Editor wanita dari bagian Editor The Review Religion, Munavara Ghauri, mendapatkan kesempatan untuk dapat berbincang bersama Dr. Nusrat mengenai kehidupannya, keyakinannya dan Pertandingan Pfizer untuk Mendapatkan Vaksin.

Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini bersifat personal bagi penulis. Saran medis mungkin akan berbeda-beda, bergantung kepada wilayah geografis dan keadaan pribadi. Selalu berkonsultasi dengan otoritas medis setempat untuk mendapatkan saran-saran medis.

(Terjemahan bagian 1 bisa Anda baca di sini)

Bagian 2

MG: Banyak liputan media secara global selama 9 bulan terakhir memberitakan seputar pengembangan vaksin untuk melawan virus COVID-19. Apakah pada saat itu merupakan masa-masa yang menegangkan atau justru mendebarkan bagi dirimu dan kolegamu di Pfizer, pada masa yang kritis bahkan di dalam sejarah ini?

Dr. N: Kala itu merupakan masa yang mendebarkan di Pfizer karena terdapat urgensi untuk segera mengirimkan vaksin COVID-19 yang aman dan efektif agar bisa menyelamatkan nyawa orang-orang di seluruh dunia. Pfizer mengajak untuk kolaborasi global, di mana para ilmuwan bekerja pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengatasi pandemi dan mengembangkan vaksin COVID-19. Ilmuwan yang bekerja pada beberapa bagian Pfizer yang berbeda termasuk bagian manufaktur, regulasi dan penelitian, bekerja dengan tanpa lelah baik itu siang atau malam untuk menghasilkan terobosan dari vaksin COVID-19 dalam waktu yang singkat.

MG: Bisakah anda memberitahu kami tentang bagaimana Pfizer dan BioNtech bergabung untuk menciptakan vaksin yang baru?

Dr. N: Ada kepentingan untuk mengirimkan vaksin COVID-19 dengan waktu yang sangat cepat ketika menyaksikan dampak buruk efek dari virus SARS-CoV-2 terhadap banyak nyawa. Dr. Kathrin Jansen, Wakil Presiden Senior dan Kepala Penelitian Vaksin di Pfizer dengan pengalaman lebih dari 2 tahun di pengembangan vaksin, berpendapat bahwa teknologi mRNA adalah formula tercepat untuk menciptakan vaksin COVID-19. Tim pasangan suami istri asal Turki, Dr. Ugur Sahin dan Ozlem Tureci adalah pendiri dari BioNTech (sebuah perusahaan kecil bioteknologi) juga sedang mengerjakan teknologi mRNA untuk membuat obat kanker dan dapat segera meluncurkan kandidat potensial vaksin mRNA dari kode genetik SARS-CoV-2 yang dipublikasikan oleh China.

Kepala BioNTech Dr. Ugur Shahin menelpon Dr. Kathrin Jansen dari Pfizer dan menanyakan apakah Pfizer ingin untuk bergabung ke dalam kemitraan untuk membuat vaksin COVID-19. Dr Kathrin Jansen menjawab: “Tentu saja Pfizer sangat tertarik!” Sebagai konsekuensinya, aliansi Pfizer dan BioNTech didirikan pada bulan Maret 2020, dan ini merupakan wadah untuk kolaborasi bersama antara ilmu pengetahuan dan industri yang memainkan peran penting pengembangan vaksin. Dalam kolaborasi ini, Pfizer menghadirkan kemampuan manufaktur, regulasi dan kemampuan penelitian sementara BioNTech menghadirkan ilmu pengetahuan dasar dengan kandidat mRNA.

Aliansi ini mulai berlaku karena Pfizer dan BioNTech sebelumnya pernah menjalin kemitraan untuk vaksin flu mRNA yang dibentuk pada tahun 2018. Vaksin mRNA mengajarkan kepada sel kita bagaimana untuk membuat protein; pada hal ini vaksin mampu membuat sel manusia untuk membuat peningkatan protein SARS-CoV-2, yang menimbulkan respon imun dalam jangka waktu yang panjang seperti cadangan tentara dan melindungi tubuh jika terjadi infeksi virus.

MG: Sungguh menarik! Perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah menginspirasi. Secara pribadi, saya merasa lega ketika suami saya bisa mendapatkan vaksin Pfizer di bulan Januari sebagai frontliner NHS (the National Health Systen in the UK). Di Inggris, dosis kedua akan diberikan setelah interval 12 minggu. Pfizer BioNTech baru melakukan uji coba tes kemanjuran vaksin ketika dosis kedua diberikan setelah 21 hari. Apakah ini membuat Anda khawatir?

Dr. N: Dalam memberikan vaksin Pfizer-BioNTech, sangatlah dianjurkan untuk mematuhi jadwal pemberian dosis 3 minggu karena inti terbukti sangat efektif dalam uji klinis di fase ke 3, yang dianggap sebagai standar emas. Inggris adalah satu-satunya negara yang menerapkan penundaan maksimal 12 minggu. Seberapa besar strategi Inggris yang dipimpin oleh ilmu pengetahuan? Ini merupakan jadwal pemberian dosis yang belum terbukti yang diperkenalkan tanpa persetujuan penuh dari pasien. Potensi resiko apa saja bagi individu dan populasi?

Gagasan untuk melindungi lebih banyak penduduk dengan menunda dosis kedua didasarkan pada pernyataan bersama JCVI (Joint Committee of Vaccination and Immunization) dan Public Health England (PHE). Kemanjuran sebesar 52-54% dilaporkan pada Hari ke-22 untuk vaksin Pfizer-BioNTech dan kemanjuran sebesar 50-60% telah dilaporkan dalam studi kohort observasional dari Israel yang mencakup periode yang sama. Strategi penundaan dosis kedua di Inggris tidak memiliki bukti yang akurat. Ini akan menghasilkan perlindungan bagi individu setelah dosis pertama, tetapi seberapa banyak dan seberapa lamanya tidak diketahui.

Risiko populasinya adalah bahwa penundaan dosis kedua di Inggris dapat sangat mendukung munculnya varian SARS-CoV-2 yang diakibatkan oleh kekebalan yang kurang optimal atau parsial. Vaksinasi yang kurang optimal akan menimbulkan tekanan selektif, sehingga memudahkan munculnya varian yang resistan terhadap vaksin yang dapat mengakibatkan pandemi terus-menerus. CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat) menyatakan bahwa Anda dapat menunda dosis kedua hingga 42 hari. Alasan jangka waktu 42 hari adalah karena uji klinis dilakukan untuk memastikan vaksin tersebut aman, dan diuji pada rentang waktu 18-42 hari untuk mengetahui kemanjurannya.

MG: Anda menyampaikan keprihatinan yang tulus, Dr. Nusrat. Apakah Anda yakin bahwa seringnya vaksinasi akan menjadi aturan yang baru dalam hidup kita?

Dr. N: Pandemi COVID-19 sangat berdampak besar pada hidup kita, kita menunggu keadaan menjadi normal kembali. Seiring dengan cepatnya vaksinasi COVID-19, pertanyaan yang ada dalam pikiran banyak orang adalah: ‘Seberapa cepat vaksin mengembalikan kehidupan menjadi normal kembali?’ dan ‘Seberapa lama kita perlu mendapatkan vaksin ini?’ Kemudian, ‘Apakah kita memerlukan suntikan vaksin corona setiap tahunnya?’ Bagi banyak ahli, vaksinasi masal berarti kekebalan imunitas. Hal ini dapat diraih ketika persentasi populasi yang tervaksinasi tinggi atau terinfeksi secara alami, sehingga hanya menyisakan sedikit inang yang rentan terhadap penyebaran virus.

Dr. Anthony Fauci (Direktur dari US Institute of Allergy and Infectious Disease) menyatakan bahwa hal ini membutuhkan 75% hingga 80% cakupan populasi agar keadaan bisa kembali menjadi normal. Israel, negara dengan vaksinasi tertinggi di dunia, mencapai cakupan 75% dalam jangka waktu 2 bulan. Namun, kekebalan imunitas mungkin bukanlah faktor utama dalam mewujudkan keadaan yang normal. Tujuan utamanya adalah perlindungan individu, untuk mendapatkan perlindungan yang memungkinkan negara-negara kembali ke kehidupan yang hampir normal. Persoalan seberapa sering kita membutuhkan vaksinasi memerlukan pemantauan skala besar untuk memahami stabilitas kekebalan.

Sebuah studi yang baru diterbitkan dalam jurnal ilmu pengetahuan pada 6 Januari 2021, menunjukan bahwa pasien COVID-19 yang sembuh dari penyakit tersebut masih memiliki kekebalan yang kuat terhadap virus corona setelah 8 bulan terinfeksi. Hal ini menunjukan bahwa kekebalan terhadap virus mungkin akan bertahan selama bertahun-tahun. Dan hal ini akan mengurangi kekhawatiran bahwa vaksin COVID-19 sering sekali membutuhkan suntikan booster untuk melindungi melawan penyakit dan akhirnya dapat mengendalikan pandemi. Kita harus tetap memeriksa, PfizerBioNTech memantau peserta uji klinis selama 2 tahun untuk perlindungan dan keselamatan jangka panjang. Kemudian kami akan mengetahui apakah kami perlu untuk melakukan imunisasi ulang di satu atau dua tahun dan seterusnya.

Kami disarankan untuk mendapatkan vaksin flu yang baru setiap tahunnya karena terdapat varian virus berbeda setiap tahunnya. Kami belum mengetahui apakah hal ini juga berlaku terhadap vaksin COVID-19.

*Diterjemahkan dari artikel di sini: https://www.reviewofreligions.org/30080/reaching-for-the-stars-interview-with-senior-scientist-at-pfizer-dr-nusrat-sharif/

Visits: 71

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *