TAKWA: MUARA AKHIR PENGEMBARAAN PUASA KITA

Di tengah situasi kehidupan yang serba tidak pasti akibat pandemi covis-19 , bulan Ramadhan kembali hadir membawa secarik kepastian atas amalan serta ganjaran pahala bagi yang menyambutnya dengan kegembiraan dan menghiasi hari-harinya dengan amal saleh.

Tujuan akhir dari puasa pada Bulan Ramadhan adalah untuk meningkatkan ketaqwaan orang- orang yang beriman. Sebagai mana firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan berpuasa atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu supaya kalian bertakwa (terpelihara dari keburukan rohani dan jasmani).” (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat di atas menjelaskan bahwa puasa merupakan satu resep mujarab untuk menjadi orang yang bertakwa (muttaqi). Pertanyaannya tentu, mengapa harus puasa? Apa kaitannya menahan lapar dan haus dengan ketakwaan? Bukankah lapar dan haus perkara jasmaniah, sedang takwa rohaniah?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita perlu tahu terlebih dahulu apa itu takwa.

Takwa pada hakikatnya adalah keyakinan yang mantap kepada Allah Ta’ala, rasa takut yang mendalam, dan perasaan muraqabah yang terus-menerus.

Muraqabah adalah sifat seseorang yang merasa selalu dilihat dan diawasi oleh Allah. Orang yang bertakwa menyadari dan meyakini bahwa dirinya senantiasa dilihat, didengar, dan diketahui oleh Allah yang Maha-Melihat, Maha-Mendengar dan Maha-Mengetahui.

Dalam sebuah dialog antara Hadhrat Umar bin Khattab ra. dengan Hadhrat Ubai bin Ka’ab ra. tentang takwa dapat kita pahami bahwa takwa adalah sikap waspada, hati-hati yang penuh dengan kesungguhan dalam meniti kehidupan, tak ubahnya seperti orang yang ingin selamat ke tempat tujuan dalam melintasi jalan yang penuh onak dan duri, jalan yang penuh rintangan.

Lalu apa hubungan antara puasa, yang secara sederhana dipahami sebagai tidak makan dan minum, dengan ketakwaan?

Dalam sebuah khutbah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad aba menjelaskan,

“Jika kita berpuasa disertai tujuan demi melangkah di atas jalan ketakwaan, maka akan timbul perhatian untuk menghindar dari keburukan-keburukan, baik itu keburukan yang merugikan diri kita sendiri maupun yang menyakiti orang lain. Dengan menjauhi keburukan tersebut, tujuan berpuasa akan terpenuhi. Selanjutnya, akan timbul perhatian untuk mencari hukum-hukum Allah dan mengamalkannya.”

Puasa yang bermuara pada takwa harus dipahami bahwa ia tak sekedar menahan rasa lapar dan haus. Tapi juga menahan diri untuk tidak melakukan apa yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Puasa hendaknya menjadi cerminan, bagaimana kita bisa menahan diri untuk memakan sesuatu yang sebenarnya halal demi Allah, begitu juga kita pun harus bisa menahan diri untuk sesuatu yang benar-benar diharamkan oleh Allah Ta’ala.

Hazrat Masih Mau’ud as menjelaskan,

“Jika kita tidak terhindar dari berbagai keburukan maka tujuan berpuasa tidak akan terpenuhi. Sebab, tujuan tersebut ialah ketakwaan.”

Jadi, ukuran puasa kita bermuara pada takwa adalah terhindarnya diri kita dari keburukan. Jika keburukan itu masih menghiasi hari-hari Ramadhan kita, itu artinya puasa kita hanya berhenti pada aspek-aspek lahiriah saja.

Hazrat Masih Mau’ud as melanjutkan,

“Meskipun berpuasa namun masih terdapat kebanggaan dalam diri, membanggakan ucapan dan perbuatan sendiri, terbiasa bersikap egois, mengharapkan dipuji orang lain, suka meminta bawahan untuk memuji-mujinya secara berlebihan dan sangat menyukai jika dipuji atau mengharapkan pujian. Hal itu bukanlah takwa.”

Ketika berpuasa, kita tidak meninggalkan perselisihan, pertengkaran, dusta dan kerusakan berarti tidak ada ketakwaan dalam puasa kita. Ketika puasa kita tidak dihabiskan untuk beribadah, banyak-banyak berdoa dan beramal saleh, berarti kita bukan orang yang bertakwa dan tujuan puasa tidaklah tercapai. Tercapainya tujuan puasa Ramadhan ialah hanya dengan amalan meninggalkan keburukan dan mengamalkan kebaikan.

.

.

.

editor: Muhammad Nurdin

Visits: 181

Yati Nurhayati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *