Doa Rasulullah saw. Bagi Pemegang Urusan
Alkisah, ada seorang hakim tengah bersama putranya. Sang putra mengadukan perkaranya kepada ayahnya.
“Ayah, aku punya masalah dengan seseorang. Tolong Ayah dengarkan dulu permasalahannya. Jika menurutmu aku yang benar, aku bermaksud membawanya ke pengadilan. Tetapi jika sebaliknya, aku akan menyelesaikannya secara damai.”
Setelah mendengar permasalahannya, hakim Syuraih tahu bahwa putranya ada di pihak yang salah. Namun ia tidak memberitahukannya secara terus terang. Bahkan sebaliknya, ia mendorong putranya untuk maju ke pengadilan.
“Perkarakan ia ke pengadilan!” kata hakim Syuraih.
Sidang pengadilan pun diadakan dan hakim Syuraih menyatakan putranya kalah dalam perkaranya. Tentu saja hal ini membuat putranya kecewa dan berang. Ia merasa ditipu oleh ayahnya sendiri. Begitu keduanya sampai di rumah, sang putra menggerutu melampiaskan kekecewaannya.
“Kalau saja bukan karena nasehat Ayah, aku tidak mau membawa perkara itu ke pengadilan. Ayah telah mempermalukan aku,” ucap putranya.
“Dengar, Putraku. Di dunia ini kamu adalah orang yang paling aku cintai. Tetapi Allah jauh lebih aku cintai. Seandainya aku berterus terang bahwa kamu di pihak yang salah, aku khawatir kamu akan berdamai dengan cara menyuap orang yang sedang punya masalah denganmu, dan itu sama sekali tidak bisa dibenarkan, Putraku.” jawab hakim Syuraih. [1]
Kisah di atas mengingatkan kita akan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Dari Aisyah r.a. berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah saw. berdoa di dalam rumahku ini, “Ya Allah, barangsiapa memegang satu urusan umatku lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah ia! Dan barangsiapa memegang satu urusan umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka maka lemah lembutlah Engkau kepadanya!””
Hakim Syuraih yang memegang kakuasaan sebagai seorang hakim tidak menyalahgunakan kekuasaannya meskipun terhadap putranya sendiri. Kala putranya salah, maka dengan penuh keyakinan dia tetap membuat putranya kalah di pengadilan. Alasannya cukup membuat kita berintrospeksi diri, dia hanya lebih mencintai Allah padahal dia pun mencintai putranya. Kecintaan pada putranya tidak lantas menggugurkan cintanya pada Allah.
Begitulah seharusnya kita pun melakukan hal yang sama. Kepentingan umat jauh lebih utama daripada kepentingan pribadi sehingga Rasulullah saw. sangat menekankannya, sampai terucap doa seperti dalam hadis di atas.
Teladan seperti ini sangat banyak dijumpai dalam sirat Yang Mulia Rasulullah saw. Bukan saja di masa aman, pada masa perang pun teladan ini banyak kita jumpai. Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. dalam buku Pengantar Mempelajari Al-Qur-an menjelaskan satu kisah bangsawati Arab yang terbukti melakukan pencurian. Rasulullah saw. tanpa segan memberikan hukuman kepadanya tanpa takut adanya tekanan dari petinggi yang berpengaruh.
Ketika Usama menghadap kepada beliau, beliau gusar dan bersabda, “Kamu sebaiknya menolak. Bangsa-bangsa telah celaka karena mengistimewakan orang-orang kelas tinggi tapi berlaku kejam terhadap rakyat jelata. Islam tidak mengizinkan dan aku pun sekali-kali tidak mengizinkan. Sesungguhnya, jika Fatimah, anakku sendiri, melakukan kejahatan, aku tidak akan segan-segan menjatuhkan hukuman yang adil.” [2]
Ada satu riwayat ketika paman Rasulullah saw., Abbas r.a., menjadi tahanan paksa Pertempuran Badar. Ia diikat kuat-kuat yang menyebabkannya mengerang kesakitan. Rasulullah saw. tidak bisa tidur karenanya, sehingga para sahabat berinisiatif melonggarkan ikatannya. Kala Rasulullah mengetahui hal tersebut, beliau menyuruh melonggarkan semua ikatan tawanan. Tidak ada alasan untuk menunjukkan keistimewaan pada keluarga. Akhirnya semua ikatan tawanan dilonggarkan dengan konsekuensi pengamanan harus diperketat. [3]
Andai para pemegang urusan benar-benar melaksanakan urusannya untuk kemaslahatan umat tentunya tidak akan terjadi huru-hara. Semua akan berjalan dengan aman. Karena pemegang kekuasaan menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat yang diberikan kepada mereka.
Referensi:
[1] Kumpulan Kisah Teladan dan Humor Sufi, MB. Rahimsyah AR
[2] Bukhari, Kitab al-Hudud
[3] Zurqani, jilid 3, hal. 279
Visits: 60
Masya Allah. Rangkaian peristiwa yang menggambarkan betapa Islam amat menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Memudahkan segala urusan tanpa melanggar ketentuan syariat.
Semoga menjadi cerminan bagi siapapun, terkhusus bagi setiap orang yang diberi amanah untuk memegang kekuasaan.