Hakikat dan Keutamaan Ibadah

Seorang anak usia belasan menemani neneknya menyirami tanaman di ladang. Udara pagi yang sejuk dari hembusan angin yang menyapa membuat batinnya bertanya-tanya, dari mana asalnya angin itu?

Pandangannya beralih, ia mendongakkan kepalanya ke atas, matanya menyapu cakrawala dari kiri ke kanan, didapatinya bianglala melengkung penuh warna di antara ancala. Ia semakin bertanya, bagaimana Tuhan meraciknya?

Ia berlari dengan tergopoh-gopoh mendekati neneknya, “Nek, apa benar yang menciptakan langit dan pelangi itu Allah?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

“Lho ya tentu, Cah Bagus. Kenapa memangnya?” Nenek balik bertanya, senyumnya mengisyaratkan bahwa ia siap mendengar pertanyaan selanjutnya dari sang cucu.

“Kata Ibu, Al-Qur’an dan keberadaan semua hal yang ada di alam ini itu bukti kalau Allah yang menciptakannya. Tapi, Nek… Allah, kan, menciptakan semua ini untuk manusia, kan? Tapi kenapa, ya, Allah marah kalau kita nggak shalat?”

Mendengar itu, Nenek menyimpan kecambah cabai yang sedari tadi digenggamnya untuk dipindahtanamkan. Nenek berjalan mendekatinya dan duduk di atas pelepah kayu sambil merangkul pundak sang cucu, “Kalau kamu ngasih mainan ke temanmu tapi temanmu nggak bilang makasih. Dia nerima mainan itu tapi dia nggak mau main sama kamu. Dia nggak pernah mau nanya atau ngobrol sama kamu, dan yang parahnya dia jauhin kamu. Perasaanmu gimana, Nak?”

Yo nggak enak dong, Nek. Masa’ aku udah kasih sesuatu ke dia, tapi dia malah jauhi aku. Tapi nggak mungkin dong, Nek. Masa’ udah dikasih sesuatu sama orang, tapi malah menjauh. Nenek ada-ada aja, nih”, ia menyangkal perumpamaan sang nenek dengan candaan.

Senyum Nenek melebar, ada rasa puas atas jawaban kritis cucunya, “Nah! Betul, Cu. Itu juga jadi jawaban buat pertanyaan kamu; kenapa kita harus menyembah Allah melalui shalat. Shalat itu menjadi bentuk syukur kita sama Allah. Allah itu Mahabaik, kita nggak cuma diciptain, tapi juga diberi akal (pikiran). Kita disediain bahan-bahan buat bertahan hidup, sebetulnya tugas kita itu cukup menjadi hamba Allah yang baik.”

Nenek menceritakan secara rinci bagaimana ketika ia kecil pun memiliki rasa penasaran yang sama dengan cucunya tentang keberadaan dan terciptanya Tuhan. Namun dengan sabar, ayahnya membuatnya memahami bahwa bertanya-tanya tentang bagaimana Allah ada itu merupakan hal yang tak berujung.

Nalar manusia tidak akan dapat mencapai jawaban itu secara rinci. Karena untuk mengetahui bentuk Tuhan saja, bayangan manusia pun takkan mampu menggambarkannya.

Nenek menambahkan, Al-Qur’an berisikan ikhtisar segala sesuatu yang baik dan tak terbantahkan, semua tentang-Nya telah tertuang gamblang di sana. Bukti nyata keberadaan-Nya yaitu keberadaan kita. Jadi, ketika kita tidak menyembah Allah, itu merupakan ketakaburan paling fatal yang manusia lakukan.

Lalu, ia bercerita tentang bagaimana hukuman Tuhan terhadap hamba-Nya yang kafir dan syirik. Salah satu Nabi Allah yang berjuang menyerukan kebenaran pada kaumnya untuk berpaling dari berhala adalah Nabi Nuh a.s.

Pada zaman itu terdapat berhala yang disembah kaum Nabi Nuh dalam berbagai bentuk. Salah satu berhala itu berbentuk seorang laki-laki yang dipercaya melambangkan kekuatan dan kejantanan.

Nabi merupakan manusia-manusia pilihan Allah, dalam dirinya mengalir nilai-nilai luhur. Namun pada akhirnya, Nabi Nuh a.s memohon do’a pada Allah untuk menurunkan azab pada mereka yang menolak amanat Ilahi.

Karena setelah sekian lama ia berjuang menyampaikan kebenaran, kaumnya tidak berhenti melayangkan ejekan, perlawanan, bahkan hinaan pada beliau a.s. Do’a Nabi Nuh a.s yang memohon untuk memusnahkan musuh-musuh kebenarannya ini menjadi ayat penutup untuk Surah Nuh dalam Al-Qur’an.

“Cu, ketika kita membaca tafsir pada ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan merasa takut untuk menjauh dari Allah. Dalam Al-Qur’an, sudah Allah jelaskan bagaimana mereka yang menyekutukan Allah berakhir.”

“Na’udzubillahi mindzalik! Kita harus terus berada dalam rasa cinta pada Allah. Masa’ iya sih, Cu, kita mau menyembah patung?! Menyembah ciptaan Allah pun kita tidak boleh, ini malah menyembah ciptaan sendiri. Piye tho, menurutmu?”

Nenek tertawa dan sesekali mulutnya mengucapkan istighfar, ia memperhatikan wajah cucunya yang sejak tadi serius mendengar pemaparannya.

Seolah belum puas memberi penjelasan, Nenek kembali mengingatkan sang cucu bahwa seorang Muslim hendaknya bersyukur dengan kesempurnaan agamanya. Rasulullah saw. sebagai kekasih Allah selalu menebarkan tauladan pada umatnya sebagai pegangan mengarungi kehidupan untuk mengantarkan kita pada gerbang surga-Nya.

Tak terlepas dalam hal menyembah Allah, Rasulullah saw. dengan kasih sayangnya, mengingatkan umatnya agar tidak menjadi seperti kaum nabi-nabi terdahulu yang berakhir menyedihkan karena telah menyekutukan Sang Pencipta.

Peringatan tersebut tertulis dalam sebuah Hadits, “Hendaklah kalian menyembah Allah semata, jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Mereka berdua larut dalam dialog penuh makna. Sang cucu akhirnya menyadari bahwa titik tertinggi seorang hamba adalah merendahkan dirinya pada Sang Khalik melalui ibadah. Namun, ia pun menggali kebenaran bahwa hal terberat dari beribadah adalah menerapkan segala sifat-sifat Ilahi pada dirinya.

Jika para nabi berjuang meruntuhkan berhala yang berbentuk patung, Muslim saat ini berjuang merobohkan berhala berupa waktu. Masa kini, kita bertarung untuk menyegerakan beribadah pada waktu shalat, atau tetap duduk di tempat karena waktu masih rapat yang tak diberi rehat.

Visits: 88

Nurul Hasanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *