surat untuk para pencaci

Surat Untuk Para Pencaci

Mengamati pola kehidupan keagamaan kita, nyata terlihat bagaimana tren beragama mengalami peningkatan yang signifikan.

Secara kasat mata kita menyaksikan, majelis-majelis ta’lim dan forum-forum pengajian demikian ramai lagi rutin diselenggarakan. Mulai dari yang bulanan, mingguan bahkan ada yang harian.

Dari forum-forum demikian, yang kita harapkan tentu bukanlah sebatas peningkatan tren dalam berpakaian, bahkan jauh dari itu kita mengharapkan bahwa dakwah yang disampaikan mampu meningkatkan kualitas keruhanian dan kemanusiaan para pendengarnya.

Kesadaran akan tujuan ini teramat penting. Sebab, dengan keruhanian yang baik seorang manusia akan mampu menjalankan amanat-amanat yang Tuhan telah embankan. Sedangkan kemanusiaan yang baik akan mampu menahan gejolak-gejolak seorang hamba atas ilmu yang didapatnya, agar tidak mudah menghakimi dan mensabotase ranahnya Tuhan!.

Adalah realitas kehidupan nyata dan juga maya kita, dimana trend berdakwah seakan menjadi ajang untuk ejek-ejekan, caci-makian bahkan penghakiman bagi mereka yang berbeda.

Keadaan seperti itu demikian mudah kita jumpai baik saat offline maupun online. Ujaran kebencian, caci-makian dan penghakiman seolah menjadi budaya baru dari negeri yang mayoritas masyarakatnya penganut Islam, yang merupakan rahmat bagi sekalian alam.

surat untuk pencaci islam

Menjadi pertanyaan kemudian bahwa Akankah ‘kekeliruan’ ini kita biarkan? Akankah kita menutup mata dan menganggapnya sebagai suatu kewajaran?

Jika itu menjadi pilihan, maka biarkanlah orang menilai bahwa Islam tak mampu menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Namun, jika sadar bahwa ini adalah kekeliruan, maka mari kita perbaiki dan sampaikanlah pesan-pesan damai sebagimana yang telah Islam ajarkan.

Nabi Karim, Muhammad Saw adalah sosok yang sangat tidak menyenangi ujaran kebencian dan atau caci-makian.

Terdapat dalam riwayat bahwa suatu hari ‘Aisyah yang tengah duduk santai bersama suaminya, Rasulullah Saw dikagetkan oleh kedatangan seorang Yahudi yang minta izin masuk ke rumahnya dengan ucapan assamu’alaikum (kecelakaan bagimu) sebagai ganti ucapan assalamu’alaikum kepada Rasulullah.

Tak lama kemudian datang lagi Yahudi yang lain dengan perbuatan yang sama. Ia masuk dan mengucapkan assamu’alaikum. Hal itu dilakukan secara sengaja untuk mengganggu ketenangan Rasulullah.

Prilaku orang Yahudi itu membuat ‘Aisyah geram, yang kemudian berteriak: “Kalianlah yang celaka!.”

Rasulullah Saw tidak menyukai reaksi keras istrinya. Beliau menegur, “Hai ‘Aisyah, jangan kau ucapkan sesuatu yang keji. Seandainya Allah menampakkan gambaran yang keji secara nyata, niscaya dia akan berbentuk sesuatu yang paling buruk dan jahat. Berlemah lembut atas semua yang telah terjadi akan menghias dan memperindah perbuatan itu, dan atas segala sesuatu yang bakal terjadi akan menanamkan keindahannya. Kenapa engkah harus marah dan berang?”

‘Aisyah mencoba memberikan penjelasan; “Ya Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan secara keji sebagai pengganti dari ucapan salam?”

Lantas Rasulullah Saw menenangkan “Ya, aku telah mendengarnya. Aku pun telah menjawabnya wa’alaikum (juga atas kalian), dan itu sudah cukup.”

Kisah yang demikian luar biasa ini telah memberikan satu keteladanan yang indah bagi kita, tentang bagaimana mestinya seorang muslim bersabar menghadapi cobaan dari cacian. Dan lebih dari itu menjadi bukti, betapa Rasulullah Saw tidak menyenangi umatnya berlaku kasar, sampai membenci dan atau mencaci.

Jika kita selami perjalanan hidup Rasulullah Saw, maka tidak akan kita jumpai ajaran lain selain keteladan tentang cinta dan kasih sayang. Dan memang untuk itulah beliau datang sebagaimana misi yang beliau emban bahwa Islam itu Rahmat bagi sekalian alam.

Maka bagaimana mungkin ajaran kasih sayang itu dapat tersampaikan, sementara umatnya terus berteriak penuh ancaman? bagaimana bisa, ajaran dengan misi mulia ‘rahmatan lil’ alamiin’ dapat kita dakwahkan, sementara umatnya masih senang melontarkan ujaran kebencian dan caci-makian?

Sudah lupakah kita akan sabda dari Nabi Saw; “bahwa seorang muslim sejati adalah dia yang orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya?.”

Islam itu keselamatan, maka sampaikanlah ia dengan ajakan yang damai lagi menggembirakan, bukan dengan caci-makian dan atau ancaman.

 

Visits: 77

Muballigh at JAI | Website

Seorang Penulis, Muballigh dan pemerhati sosial. Tinggal di Pulau Tidung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *