Belajar Taat Dari Nizam Rishtanata

Tiba-tiba listri padam saat sepucuk surat “tidak terima” yang sarat emosi kuketik untuk Hadhrat Khalifatul Masih. Hingga aku kembali mempertanyakan kembali ketaatanku pada Nizam Khilafat.

—–

Rishtanata, sebuah kata yang sempat meninggalkan rasa horror bagiku. Sebuah nizam (aturan) perjodohan antar sesama Ahmadi yang sungguh tidak mudah bagiku, yang adalah seorang wanita Ahmadi yang baru berbai’at (Mubayyin Baru).

Kadang, saat seseorang menyebutkan sebuah kata atau frasa tertentu, aku merasa seperti sudah pernah mendengar sebelumnya meskipun memang belum pernah. Misalnya saja saat pertama kali mendengar kata-kata Tahrik Jadid dan Waqfi Jadid, aku merasakan sensasi khusus dan bertanya di dalam hati, “Kayak pernah dengar. Di mana, yah?”

Kadang, mendengar sebuah kata atau frasa lain, aku begitu penasaran dan langsung mencari tahu apa makna dan penjelasannya. Namun saat ini, istilah Rishtanata memiliki makna dalam di hidupku.

Pertama kali aku mendengar kata ini adalah ketika suatu hari aku membaca sebuah kalimat di rumah misi. Isinya tentang mencegah lost generation dengan nizam Rishtanata. Aku pun langsung menanyakan maksud kalimat tersebut kepada Ibu Mubaligh. Beliau pun menjelaskan bahwa itu merupakan suatu aturan untuk menikah dengan sesama anggota Jemaat.

Entah mengapa, aku tidak terlalu memikirkannya saat itu dan kembali fokus dengan kegiatanku. Beberapa minggu kemudian, aku ditawari untuk dikenalkan dengan seorang Khadim. Rupanya kami hendak dijodohkan. Aku pun menolaknya.

Beberapa kali aku juga ditawari untuk berkenalan dengan Khadim. Bila aku menolak, aku kembali diperkenalkan dengan yang lain. Akhirnya aku pun menurut saja dan menerima sebuah perkenalan dengan seorang Khadim.

Pertama kali aku mulai komunikasi dengan seorang Khadim, aku malah begitu risih tiap kali menerima chat darinya. Aku pun berterus-terang bahwa aku hanya ingin menjalin pertemanan biasa. Begitu seterusnya, hingga suatu hari aku sampaikan kepada ketua LI kami bahwa aku memiliki kedekatan dengan seorang lelaki non-Ahmadi sejak sebelum berbai’at.

Beliau kaget dan menyarankanku untuk memutuskan hubungan dengan lelaki tersebut. Beliau menasehatiku dan menyampaikan tujuan dicanangkannya nizam ini.

Aku tidak pernah berpacaran sebelumnya. Aku juga merasa tidak nyaman jika ada yang mengatur perjodohan untukku, termasuk orangtuaku sendiri. Aku sebelumnya bahkan sempat menolak untuk dijodohkan dengan anak seorang teman ibuku, yang sudah memasuki tahap akhir di sebuah instansi pelayaran.

Bukan karena aku menetapkan kriteria tertentu, namun aku bertekad ingin menjalin kedekatan dengan seseorang hanya jika sudah mantap untuk menikah. Ketika merasa yakin, malah dengan seorang lelaki non-Ahmadi.

Alih-alih mengikuti nasehat sang Ketua LI, aku malah bertanya kepada Mubaligh. Aku terus saja menyampaikan berbagai alasan penolakan hingga beliau meminta kontak temanku tersebut. Beliaupun mulai berkomunikasi dengannya, memperkenalkan Jemaat dan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.

Aku pun melakukan hal yang sama. Hingga suatu hari, dia menanyakan tentang perjodohan sesama Ahmadi kepadaku. Aku pun menjawabnya singkat, bahwa hal tersebut adalah untuk melahirkan generasi Ahmadi, namun tetap sah juga jika menikah berbeda firqah.

Suatu hari Pak Mubaligh menyampaikan kepadaku bahwa menurut penilaian beliau, lelaki itu merupakan seseorang yang tidak tertarik untuk mendalami Jemaat. Dia hanya sebatas ingin tahu, namun tidak punya keinginan untuk bergabung. Beliau juga menyampaikan harapan beliau agar aku dapat memilih yang terbaik bagi diriku dan juga agamaku ke depannya.

Selain beliau, ketua LI juga tak henti-hentinya membahas hal ini. Beliau juga memperingatkanku dengan memberi contoh orang-orang yang melanggar nizam ini. Ada yang rumah tangganya berantakan, ada juga yang menjadi tidak aktif dalam kegiatan Jemaat. Aku hanya mengangguk setelah mendengar saran-saran mereka dan setelah itu kembali menyatakan alasan-alasan sendiri.

Suatu hari, sesuatu yang tak biasa diucapkan oleh Ketua LI. Beliau mengatakan bahwa Huzur bersabda bahwa mereka yang menikahi ghair Ahmadi akan dikeluarkan dari nizam Jemaat. Aku sangat terkejut mendengar pernyataan tersebut. Hatiku hancur rasanya. “Bukankah kata Pak Mubaligh, pernikahan seperti itu tetap sah secara agama? Kenapa sih sampai harus dikeluarkan dari Jemaat?” Sungguh pertanyaan tanpa perenungan itu muncul di dalam hatiku.

Saat menghadiri webinar Rishtanata di rumah misi, aku mendengar hal yang sama. Di penghujung acara, aku meminta izin untuk ke toilet. Di sana, air mataku bercucuran sambil kupikirkan tentang ketaatan. Otakku sibuk mencari cara untuk menyatukan kedua hal ini dengan kemunculan berbagai pernyataan yang mengindikasikan penolakan terhadap Rishtanata.

Jika aku telah mengimani Masih Mau’ud as. sebagai Imam Mahdi, mengapa harus ada kalimat dikeluarkan dari Jemaat? Bukankah Huzur atba. juga bersabda bahwa keimanan seseorang itu merupakan urusan pribadi antara dia dan Tuhannya, serta tidak ada yang dapat mengintervensi hal tersebut. Aku juga memikirkan sabda Masih Mau’ud as., bahwa di dalam setiap ketaatan ada keberkahan. Tiba-tiba aku juga teringat dengan sebuah ayat al Qur’an, yakni “Tidak ada paksaan dalam agama.” Kepalaku seperti mau pecah dengan semua hal yang sulit kuhubungkan itu.

Saat kembali pulang, di rumah aku merasa gelisah. Mata sulit kupejamkan malam itu. Aku menimbang-nimbang rasa sayangku kepada Khilafat dan kepada lelaki tersebut. Hingga akhirnya aku membuka laptop dan mulai mengetik surat untuk Huzur. Dengan hati yang berkecamuk, aku menuliskan alasan-alasanku menolak Rishtanata serta segala yang kupikirkan pada siang hari sebelumnya.

Aku menyampaikan kebaikan akhlak lelaki non-Ahmadi yang aku sukai tersebut. Aku juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan, “Jika memang Tuhan melarang pemaksaan dalam agama, mengapa kita harus dikeluarkan dari Jemaat jika menikahi ghair? Apakah boleh saya tetap berada di Jemaat?” Segala keberatan aku tuangkan di surat itu dengan agak marah, sangat emosional.

Belum selesai surat kuketik, listrik tiba-tiba padam dan suasana berubah menjadi hening. Mataku yang sedari tadi hanya terfokus pada laptop, mulai mencari-cari ponsel untuk penerangan. Tiba-tiba aku menangis, baru menyadari bahwa hanya demi ego aku keberatan dengan perintah Khalifah dan menulis demikian. Akupun memohon ampunan kepada Allah karena begitu heran dengan apa yang kutuliskan. Kemudian aku mengubah isi suratku dengan kata-kata yang sopan dan hanya menyertakan permohonan doa untuk diberi keteguhan iman.

Hari-hari kujalani sebagaimana biasa, bahkan saat itu aku tetap teguh mempertahankan hubunganku dengan pria ghair tersebut. Hanya saja, ada yang agak berbeda. Aku merasa semakin jauh dengannya. Terutama saat aku mencoba untuk menyampaikan apa-apa yang aku dapatkan di Jemaat yang menurutku penting untuk diketahui. Dia tak acuh dan kadang menolak untuk membahasnya. Pembicaraan kami lalu berujung ke hal-hal serius untuk masa depan hubungan kami.

Entah bagaimana cara kerja hipotalamus di otakku, aku seringkali mendapatkan mimpi-mimpi yang cukup dramatis. Setelah beberapa kali mengirim surat ke Huzur, aku bermimpi dinikahi oleh seorang pria Jemaat yang sudah mempunyai istri dan bahkan aku memiliki seorang anak dari pernikahan tersebut.

Saat terbangun, pikiranku begitu kacau. Muncul keengganan untuk melanjutkan rencana pernikahan ini. Aku lalu mengirim pesan kepadanya, memintanya untuk menghapus semua pesan-pesan kami dan juga segala hal yang bersifat kenangan tentang kami berdua. Aku sampaikan kepadanya bahwa jangan-jangan Allah tidak menghendaki kami berjodoh.

Beberapa hari kemudian, saat aku berkunjung kembali ke rumah misi, Pak Mubaligh menanyakan tentang hubunganku dengannya. Aku lalu menjawab seadanya serta meminta untuk dicarikan jodoh dari kalangan Jemaat. Aku khawatir akan dilamar olehnya. Pak Mubaligh pun mendukung dan mengusahakan apa yang kupinta.

Ternyata dugaanku benar, pria ghair tersebut langsung meminta kontak kedua orangtuaku dari orang lain dan menelpon ayahku. Dia menyampaikan maksud baiknya, hingga akhirnya aku diberi kabar oleh ayahku tentang hal tersebut. Beliau mengatakan bahwa ibuku sudah setuju, namun keputusannya tetap diserahkan kepadaku.

Aku kembali diliputi keraguan. Aku masih ingin bersamanya. Aku pun mengabarinya, bercerita panjang tentang perbedaan kami. Namun tetap saja perasaanku masih mengalahkan keteguhanku pada nizam. Aku memintanya untuk menyampaikan langsung kepada Mubaligh tentang kesepakatan kami dan menanyakan pendapat beliau. Pak Mubaligh mengatakan bahwa beliau bersedih mengetahui rencana kami ini. Beliau merasa tidak berhasil mentarbiyatiku. Hal ini membuatku ikut bersedih.

Tak henti-hentinya aku kembali mengirim surat kepada Huzur, memohon didoakan agar dapat melewati ujian ini. Sebulan kemudian, aku kembali bermimpi menikah dan menjadi istri kedua. Anehnya, mimpi-mimpi poligami seperti itu berulangkali kualami. Meskipun gambaran ceritanya mengalami perubahan, namun selalu saja berisikan cerita bahwa aku dipoligami.

Hal ini membuatku merenung. Aku mencari tahu hal-hal seputar masalah poligami. Hikmah yang bisa aku petik dari cerita yang digambarkan kepadaku melalui mimpi tersebut adalah tentang melawan ego. Aku egois karena demi memiliki seorang lelaki ciptaan Allah, aku bersedia mengorbankan ketaatan kepada-Nya. Aku mengorbankan ketaatan dengan tidak memenuhi janji bai’at untuk menaati Masih Mau’ud as. dan Nizam Khilafat. Padahal keberkatan itu ada di dalam ketaatan.

Aku juga memikirkan bagaimana anak dari orangtua yang berbeda keyakinan seperti itu? Mereka pasti kebingungan memilih mau mengikuti ayah atau ibunya. Bukankah akan sangat mudah jika ayah dan ibunya sejalan? Sungguh sangat egois jika aku harus meneruskan rencana pernikahan ini.

Aku kembali tersadar akan kekuasaan Allah atas segala sesuatu, bahwa tidak ada yang seindah rancangan qadha dan qadr-Nya. Aku diajarkan untuk ikhlas dalam menerima ketentuan-Nya, serta melepaskan segala yang Dia titipkan untukku di dunia ini. Aku menyadari bahwa apapun yang kumiliki di dunia ini, sejatinya bukanlah milikku, namun milik Allah SWT. Baik itu segala potensi yang kumiliki dalam diriku, ataupun orang-orang yang kukasihi. Termasuk kedua orangtua, suami dan bahkan anak-anakku nanti, hanyalah titipan untukku di dunia ini. Hanya Dialah Pemilik segalanya yang ada. Aku ingin belajar untuk menyerahkan jiwaku kepada-Nya agar dapat berdamai dengan-Nya.

Akhirnya aku meminta agar lamaran tersebut dibatalkan. Dan dia bersedia. Kini, kami hanya berteman biasa. Dia bahkan mendukung dan mendoakan agar aku dapat berjodoh dengan seorang lelaki Ahmadi yang shalih.

Tak ada beban dan entah mengapa pertanyaan-pertanyaan dari keluargaku dan juga saudari-saudarinya tentang alasan kandasnya hubungan kami dapat aku jelaskan dengan tenang. Ibunya yang sempat kecewa kepadaku pun kini akhirnya mengerti. Aku pun bertekad harus menikah dengan sesama Ahmadi.

Lega rasanya bisa melewati ujian ini yang kukira tidak akan sanggup kuhadapi. Setelah mengalahkan satu ego terbesarku, aku pun menyadari bahwa, sungguh, pada setiap ikrar keimanan terdapat ujian yang level kesulitannya tergantung dari level keimanan kita. Selain itu, ingatlah selalu bahwa apapun yang dikehendakiNya untuk kita adalah yang terbaik.

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. Al Ankabut, ayat 2)

.

.

.

editor: Lisa Aviatun Nahar

Visits: 588

Wa Ode Ifulia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *