Keindahan dalam Perbedaan
Sewaktu kecil, saya tinggal di lingkungan dengan beragam suku, etnis, ras, juga agama. Teman sepermainan saya kebanyakan beragama selain Islam. Namun, ibu saya selalu mengajarkan tentang toleransi dalam keberagaman sesama umat manusia.
Seringkali saat bulan puasa tiba, Ibu memasak berbagai jenis makanan untuk berbuka dalam jumlah yang banyak, lalu menyuruh saya mengantarkan kepada para tetangga yang beragama Kristen. Bukan hanya ke satu rumah saja, tetapi ada sekitar tiga rumah yang harus saya antarkan. Karena tiga rumah inilah yang berdekatan rumahnya dengan saya.
Tidak hanya kepada yang berlainan agama, di hari lainnya Ibu kerap kali menyuruh saya mengantarkan hidangan berbuka untuk para tetangga yang sesama Muslim. Pernah suatu kali saya bertanya pada Ibu, “Untuk apa makanan ini diantar ke rumah Maria, Valent, dan Mirna? Mereka, kan, agamanya Kristen, gak puasa juga, kok,” ujar saya kala itu.
“Iya gapapa, biar mereka juga merasakan apa yang kita makan. Lagi pula berbagi di bulan Ramadhan itu bagus. Mau dia puasa atau tidak, Islam atau Kristen, yang penting, kan, niat kita ikhlas untuk berbagi,” sahut Ibu sambil tangannya sibuk menyiapkan makanan ke piring.
Membagikan makanan ini terus berlanjut dilakukan ibu saya hingga akhir Ramadhan. Begitu pula saat hari raya tiba, berbagai hidangan khas hari raya, Ibu bagikan kepada para tetangga yang beragama Kristen. Ternyata, hal yang tidak pernah saya sangka terjadi. Saat hari Natal tiba, mereka para tetangga non-Muslim ini membagikan berbagai bingkisan Natal berupa makanan serta buah-buahan ke rumah kami secara bergantian.
Ketika beranjak dewasa saya menyadari bahwa kebaikan yang Ibu ajarkan sewaktu kecil merupakan bekal saya saat dewasa. Yaitu, pentingnya memiliki sikap toleransi, juga kasih sayang kepada sesama umat manusia tanpa memandang ras, etnis, maupun agama. Itu jugalah yang saya lakukan pada teman-teman saya yang beragama Kristen, Hindu, Budha, juga Konghucu. Kami saling menghormati dan menghargai satu sama lain, menciptakan keindahan dalam sebuah perbedaan.
Inilah yang diajarkan oleh Islam, agama yang dicintai Allah SWT. Islam mengajarkan kita tentang perdamaian, cinta kasih, kerukunan, juga persaudaraan sesama umat manusia. Bahkan secara harfiah, Islam artinya adalah damai. Untuk itu pondasi dari agama Islam adalah perdamaian. Maka dari itu, tidak mungkin agama yang berlandaskan rahmatan lil alamin ini mengajarkan hal-hal yang merusak kedamaian dan ketenangan di masyarakat.
Hadhrat Khalifatul Masih V, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba. dalam pidatonya bersabda, “Ajaran agama Islam adalah menumbuhkan perdamaian, menyebarkan cinta dan kasih sayang di antara umat manusia. Tentu saja, ini merupakan hal yang kami pelajari dari Al-Qur’an yang merupakan Kitab Suci kami, sumber paling otentik dari hukum-hukum dan pengajaran Islam. Dari awal sampai akhir, Al-Qur’an merupakan kitab perdamaian yang mengabadikan nilai-nilai universal manusia dan hak asasi. Ajaran Islam bertujuan menyatukan umat manusia di bawah bendera kemanusiaan dan menjamin hak setiap individu untuk hidup dengan bebas, setara, merdeka dan penuh keadilan.” [1]
Selain Al-Qur’an, Rasulullah saw. juga merupakan panutan dalam berbagai hal termasuk juga dalam bertoleransi sesama umat manusia terutama pada mereka non-Muslim. Sejarawan Muslim Ibnu Ishak pernah berkisah. Syahdan, suatu hari Rasulullah saw. dikunjungi rombongan 60 orang yang beragama Nasrani Najran. Mereka dipimpin pendeta bernama Abu Al-Harisah bin Al-Qomah.
Pada saat rombongan datang ke masjid, kebetulan Rasulullah saw. selesai salat Asar bersama para sahabatnya. Tiba-tiba rombongan Nasrani itu bermaksud melaksanakan kebaktian. Para sahabat kaget, kemudian para sahabat bermaksud melarang mereka melaksanakan kebaktian di masjid.
Akan tetapi Rasulullah saw. menyuruh para sahabatnya membiarkan mereka melaksanakan kebaktian sesuai dengan keyakinan agamanya, yaitu agama Nasrani. Mereka pun menghadap ke arah timur lalu melaksanakan kebaktian di dalam masjid disaksikan Rasulullah saw. dan para sahabatnya.
Dalam kisah itu, diceritakan pula bahwa pendeta Abu Al-Harisah telah mengetahui risalah kenabian Muhammad saw., tapi tak satu pun dari mereka yang berikrar masuk Islam. Hal tersebut tak membuat Rasulullah saw. memaksa mereka memeluk Islam. [2]
Sungguh sangat mengagumkan sikap toleransi yang dicontohkan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Sikap ini mencerminkan hakikat ajaran Islam yang menjunjung tinggi perbedaan keyakinan seseorang dan tidak pernah memaksakan untuk memeluk agama Islam. Rasulullah saw. membiarkan kesadaran orang tersebut untuk memilih, mau masuk Islam silakan atau tidak juga tidak apa-apa. Yang penting jangan mengganggu.
Hal ini jugalah yang menjadikan Islam sebagai agama yang dicintai Allah, karena di dalamnya diajarkan cinta kasih dan sikap toleransi yang sempurna. Sebagaimana yang tertera dalam sebuah hadits. Dari Ibnu ‘Abbas ra., ia berkata; ditanyakan kepada Rasulullah saw.: “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah? Maka beliau bersabda: ‘Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)’.”
Referensi:
[1] https://ahmadiyah.id/toleransi-beragama-dan-kebebasan-dalam-islam.html?amp
[2] https://uinsgd.ac.id/toleransi-rasulullah/
[3] HR. Bukhari
Visits: 43