Rumah Misi Dipasangi Bom Ikan Radius 500 meter

Pada kesempatan ini saya ingin bercerita tentang pengalaman tugas mendampingi suami waktu di Praya, Lombok Tengah.

Kami mutasi dari Kendari sekitar dua bulan setelah kejadian penyerangan Jemaat di Sambi Elen. Dimana pada saat itu kami saksikan beritanya di layar sebuah televisi, hati gemetar mendengar berita ada satu orang  Lombok yang disyahidkan yaitu Papuq Hasan. Beliau dengan istrinya kena tebasan golok para penyerang waktu itu. Beruntung luka istrinya tidak separah yang dialami oleh sang suaminya.

Sebenarnya SK sudah turun sejak  usia kandungan masuk 9 bulan. Saat itu  sedang mengandung anak  keempat. Karena berbagai pertimbangan keamanan dan kesehatan, maka diputuskan berangkat setelah lahiran. Waktu itu kami berangkat membawa 4 orang anak yang masih kecil- kecil. Anak pertama usia 8 tahun, yang ke dua usia 7 tahun , anak ke tiga usia 2 tahun dan bayi berusia 38 hari.

Sarana transportasi saat itu masih pakai kapal laut. Kami naik kapal Tilongkabila dari Bau-Bau tengah malam dalam suasana hujan berdesak. Saya menuntun anak yang ketiga sambil menggendong bayi. Sedangkan suami menuntun dua anak lainnya.

Setelah mengantarkan kami ke dek kapal di lantai dua. Selanjutnya suami turun lagi mengangkut dus dan tas bawaan yang masih ditinggal di bawah yang dijaga oleh anggota. Masih terbayang sampai sekarang bagaimana sulitnya naik kapal laut berdesakan dengan penumpang lain dalam kondisi habis lahiran yang belum genap 40 hari. Kadang kalau ingat waktu itu suka merasa ngeri sendiri, kok bisa ya dulu menjalaninya?

Setibanya di pelabuhan Lembar Pulau Lombok, kami dijemput oleh bapak Mubaligh Daerah pada saat itu Mln. Attaurrazak (almarhum) dan Bapak Syahidin.

Dalam suasana masih berduka, beliau menyambut kami dengan rasa suka cita. Begitu juga kami yang disambutnya turut merasa bahagia seakan lupa  peristiwa yang sedang melanda, namun  jujur saja kami sebagai manusia biasa ada perasaan khawatir saat itu. Maklum tragedi yang sempat menggemparkan itu baru saja terjadi.

Dan kami memasuki daerahnya dalam kondisi mencekam, membawa anak yang masih kecil-kecil. Tapi segera suami menguatkanku. Meyakinkan bahwa Allah akan selalu ada bersama kita.  Akhirnya kami berusaha menenangkan diri, melangkah dengan penuh doa menuju rumah mertua karena tempat kami di Praya saat itu belum ada rumah misinya.

Kami diwarisi pondasi rumah misi di Praya oleh Mubaligh sebelumnya. Lokasinya di samping kuburan yang masyarakat menyebutnya  “Kuburan Malaysia”. Konon kabarnya di sana dimakamkan  orang – orang Lombok yang tenggelam di kapal Laut saat mau kerja ke Malaysia. Jadi dikubur masal di samping rumah misi. Selain itu banyak juga kuburan  lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana suasana di sekitar pondasi rumah misi yang kami warisi bersebelahan dengan kuburan dan berada tepat di bawah  pohon beringin yang paling besar.

Karena belum ada rumah misi saat itu, maka kami mengontrak rumah  selama 1 tahun. Dan suami bertekad tahun berikutnya harus jadi rumah misi. Sehingga tidak perlu kontrak rumah lagi. Alhamdulillah Pusat mengabulkan dan memberikan dana kontrak rumah selama 2 tahun ke depan, untuk  dialihkan membeli bahan bangunan.  

Yang bekerja saat itu 3 orang. Tenaga ahlinya seorang  tukang dari Lombok Timur, Bapak Arifin, peladennya Bapak Ketua Cabang, Pak Jumahir dan dibantu oleh Mubaligh (suami). Alhamdulillah jelang akan habis masa kontrak rumah, rumah misi pun sudah berdiri. Sudah bisa ditinggali walapun saat itu belum diploor dan pintu pun belum ada.  Hanya pakai bedek ditunjal bambu sebagai penghalang pintu pada saat pertama kami tinggali.

Listrikpun belum masuk. Sempat beberapa hari kami hanya pakai lampu tempel. Sebelum mengalir setrum dari seorang tetangga Hindu yang baik sekali.

Tidak lama kemudian akhirnya PLN masuk. Rumah misi pun menjadi terang. Tinggal PDAM yang belum ada. Kami  membuat sumur di luar. Airnya masih terbatas. Jadi mandi seringnya numpang ke rumah ketua cabang yang berjarak sekitar 2 km dari rumah misi.

Semua itu kami lalui dengan hati bahagia.

Namun kebahagiaan itu terusik saat terjadi penyerangan Jemaat di Selong, Lombok Timur. Baru saja 2 minggu menempati rumah misi ada kabar Jemaat diserang dan diungsikan ke Polres . Orang tua kami yang sudah sepuh pun dijemput oleh aparat. Hati sangat sedih saat itu karena anak- anak masih kecil dan suami sakit tangannya bernanah karena alergi semen. Kata dokter ini karena habis pegang semen saat bantu menyelesaikan rumah misi. Jadi kaku tanganya tidak bisa pegang stang motor. Hanya doa yang bisa dipanjatkan untuk keselamatan saudara-saudara kami di Lombok Timur. Karena raga tak kuasa melangkah ke sana.

Setelah beberapa bulan kemudian pengungsi dipindahkan ke Transito. Saat itu masuk awal Bulan Ramadhan suami sudah sehat. Kami bermaksud ingin menemui orang tua di pengungsian sambil memasuki hari pertama puasa. Belum saja kami bermalam, tiba-tiba Bapak Amir Nasional menelpon dan mengabarkan bahwa ada info dari Pak Ketua Cabang bahwa di  rumah misi Praya dipasangi bom molotov.

Malamnya kami langsung pulang ke Praya sesuai petunjuk pak Amir. Dalam hati berkata apapun yang terjadi kami harus siap menghadapinya. Dari kejauhan kami perhatikan rumah misi. Alhamdulillah masih berdiri utuh. Bom molotov yang dipasang di bawah jendela kamar utama sudah diamankan polisi.

Keesokan harinya suami dan bapak ketua memenuhi panggilan polisi guna pemeriksaan lebih lanjut. Saat di kantor polisi suami dengar langsung dari hasil laporan tim yang diterjunkan untuk memeriksa rumah misi bahwa bom tersebut adalah bom ikan rakitan yang aktif. Kabarnya jika bom itu meledak maka radius 500 Meter akan hancur.

Mendengar penjelasan itu, suami jadi ingat saat beberapa hari lalu, dimana sempat menjelaskan ke anak-anak agar kuat dalam menghadapi keadaan ini berhubung anak-anak diintimidasi di sekolah oleh guru dan teman-temannya.

Waktu itu suami mengatakan, “Anak-anakku jangan takut , kita ini berada di jalan yang benar, kita tidak akan mundur karena diancam atau ditakut-takuti. Sekalipun kita dibakar InsyaAllah jika Allah Ridho maka api itu akan dingin seperti mu’jizat Nabi Ibrahim as.”

Benar rupanya api yang dimaksud disini  adalah bom itu. Bom yang sumbunya sudah dibakar tapi tidak jadi meledak karena ada kesalahan  pasang. Bom tersebut tersumbat sumbunya menurut penjelasan polisi. Tapi suami langsung ingat kisah Nabi Ibrahim itu bahwa inilah buktinya Allah Ridho api ( bom) itu menjadi dingin dengan tidak jadinya meledak. Entah tertiup angin yang kencang karena lokasi rumah misi pas di bawah pohon beringin yang besar, atau seperti yang dijelaskan pak polisi tadi. Entahlah… yang jelas ini pertolongan Allah semata.

.

.

.

Penulis: Yati Nurhayati

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 539

Yati Nurhayati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *